Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

menimbang

  1. bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka mempunyai peranan penting guna menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan;

  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

mengingat

  1. Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22E ayat (2), Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);

  3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

Dengan Persetujuan Bersama:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

menetapkan

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Pasal 27A

Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam ketentuan ini dibuat dengan persetujuan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Cukup jelas.

Angka 14

Cukup jelas.

Angka 15

Pasal 32

Cukup jelas.

Angka 16

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Pasal 34

Yang dimaksud dengan media elektronik adalah situs (web site) Mahkamah Konstitusi.

Ayat 4

Cukup jelas.

Angka 17

Cukup jelas.

Angka 18

Cukup jelas.

Angka 19

Cukup jelas.

Angka 20

Cukup jelas.

Angka 21

Cukup jelas.

Pasal 45A

Ayat 1

Huruf a

Pasal 48A

Ketetapan Mahkamah Konstitusi mengenai “permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi” dilakukan berdasarkan tugas dan kewenangan serta sebelum masuk pemeriksaan di persidangan.

Huruf b

Yang dimaksud “pemohon menarik kembali Permohonan” adalah pada saat Permohonan sudah masuk pemeriksaan di persidangan atau setelah sidang panel.

Ayat 3

Cukup jelas.

Angka 23

Cukup jelas.

Angka 24

Cukup jelas.

Angka 25

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Angka 23

Cukup jelas.

Angka 24

Cukup jelas.

Angka 25

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Pasal 51A

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan”, antara lain Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait, seperti Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Tertib.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Angka 27

Cukup jelas.

Angka 28

Cukup jelas.

Angka 29

Cukup jelas.

Angka 30

Cukup jelas.

Angka 31

Cukup jelas.

Pasal 87

Cukup jelas.

Pasal I

Angka 1

Cukup jelas.

Angka 2

Pasal 4

Cukup jelas.

Angka 3

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Pasal 6

Yang dimaksud dengan “jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya” adalah penjagaan keamanan yang diberikan kepada hakim konstitusi dalam menghadiri dan memimpin persidangan. Hakim konstitusi harus diberikan perlindungan keamanan oleh aparat terkait, yakni aparat kepolisian, agar hakim konstitusi mampu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak mana pun.

Ayat 3

Angka 4

Cukup jelas.

Angka 5

Cukup jelas.

Angka 6

Cukup jelas.

Pasal 7A

Cukup jelas.

Pasal 7B

Angka 7

Cukup jelas.

Angka 8

Cukup jelas.

Angka 9

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Pasal 15

Yang dimaksud dengan “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” adalah menjalankan ajaran agama.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Angka 10

Cukup jelas.

Angka 11

Cukup jelas.

Angka 12

Cukup jelas.

Angka 13

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Angka 10

Cukup jelas.

Angka 11

Cukup jelas.

Angka 12

Cukup jelas.

Angka 13

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Cukup jelas.

Ayat 6

Cukup jelas.

Ayat 7


UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

menimbang

  1. bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka mempunyai peranan penting guna menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan;

  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

mengingat

  1. Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22E ayat (2), Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);

  3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

Dengan Persetujuan Bersama:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

memperhatikan

memutuskan

menetapkan

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB IVA

KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM KONSTITUSI SERTA MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Pasal 27A

  1. Mahkamah Konstitusi wajib menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan.

  2. Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang keanggotannya terdiri atas:

    1. 1 (satu) orang hakim konstitusi;

    2. 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial;

    3. 1 (satu) orang dari unsur DPR;

    4. 1 (satu) orang dari unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; dan

    5. 1 (satu) orang hakim agung.

  3. Dalam melaksanakan tugasnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi berpedoman pada:

    1. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi;

    2. tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi; dan

    3. norma dan peraturan perundang-undangan.

  4. Tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b memuat mekanisme penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dan jenis sanksi.

  5. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. pemberhentian sementara; atau

    3. pemberhentian.

  6. Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang berasal dari hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.

  7. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, organisasi, dan tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi.

Pasal 27B

Untuk menjaga dan menegakkan integritas dan kepribadian yang tidak tercela, keadilan, dan kenegarawanan:

  1. hakim konstitusi wajib:

    1. menaati peraturan perundang-undangan;

    2. menghadiri persidangan;

    3. menjalankan hukum acara sebagaimana mestinya;

    4. menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi;

    5. memperlakukan para pihak yang berperkara dengan adil, tidak diskriminatif, dan tidak memihak; dan

    6. menjatuhkan putusan secara objektif didasarkan pada fakta dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

  2. hakim konstitusi dilarang:

    1. melanggar sumpah jabatan/janji;

    2. menerima suatu pemberian atau janji dari pihak yang berperkara, baik langsung maupun tidak langsung; dan/atau

    3. mengeluarkan pendapat atau pernyataan di luar persidangan atas suatu perkara yang sedang ditanganinya mendahului putusan.

    4. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32

  1. Terhadap setiap Permohonan yang diajukan, Panitera Mahkamah Konstitusi melakukan
    pemeriksaan kelengkapan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31.

  2. Dalam hal Permohonan belum memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon diberi kesempatan untuk melengkapi Permohonan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon.

  3. Permohonan yang telah memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan kepada pemohon diberikan tanda terima.

  4. Dalam hal kelengkapan Permohonan tidak dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan akta yang menyatakan bahwa Permohonan tidak diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan diberitahukan kepada pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan.

Pasal 33A

  1. Mahkamah Konstitusi menyampaikan salinan Permohonan kepada DPR dan Presiden dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal Permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

  2. Penyampaian salinan Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tanda terima.

Pasal 34

  1. Mahkamah Konstitusi menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

  2. Penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada pemohon, termohon, dan pihak terkait serta diumumkan kepada masyarakat.

  3. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menempelkannya di papan pengumuman yang khusus dibuat untuk itu dan/atau melalui media cetak atau media elektronik.

  4. Pemberitahuan penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sudah diterima oleh para pihak yang berperkara dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum hari persidangan.

Pasal 35

  1. Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.
    (1a) Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan.

  2. Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat#NL#diajukan kembali.

Pasal 35A

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 tidak dibebani biaya perkara.

19

Ketentuan Pasal 41 ayat (1) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (4), sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41

  1. Dalam pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, hakim konstitusi memeriksa Permohonan beserta alat bukti yang diajukan.

  2. Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan Permohonan.

  3. Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan penjelasannya dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim konstitusi diterima.

  4. Pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. pemeriksaan pokok Permohonan;

    2. pemeriksaan alat bukti tertulis;

    3. mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara;

    4. mendengarkan keterangan saksi;

    5. mendengarkan keterangan ahli;

    6. mendengarkan keterangan pihak terkait;

    7. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; dan

    8. pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan alat bukti itu.

    20

    Di antara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 42A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42A

  1. Saksi dan ahli dapat diajukan oleh para pihak yang berperkara, pihak terkait, atau dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi.

  2. Saksi dan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan keterangan di bawah sumpah atau janji.

  3. Saksi dan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang.

Pasal 45A

Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok Permohonan.

22

Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 48A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48A

  1. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan ketetapan dalam hal:

    1. Permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara yang dimohonkan; atau

    2. pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1a).

  2. Amar ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berbunyi, “Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili Permohonan pemohon”.

  3. Amar ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berbunyi, “Menyatakan Permohonan pemohon ditarik kembali”.


    Pasal 50

    dihapus

    1. Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 50A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50A

Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menggunakan undang-undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum.

25

Di antara Pasal 51 dan Pasal 52 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 51A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51A

  1. Permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus memuat hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.

  2. Uraian mengenai hal yang menjadi dasar Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara Permohonan pengujian undang-undang meliputi:

    1. kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian;

    2. kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; dan

    3. alasan Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diuraikan dengan jelas dan terperinci.

  3. Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.

  4. Dalam hal Permohonan pengujian berupa Permohonan pengujian formil, hal yang dimohonkan untuk diputus dalam Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c meliputi:

    1. mengabulkan Permohonan pemohon;

    2. menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan

    3. menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

  5. Dalam hal Permohonan pengujian berupa Permohonan pengujian materiil, hal yang dimohonkan untuk diputus dalam Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c meliputi:

    1. mengabulkan Permohonan pemohon;

    2. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan

    3. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    26

    Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 57 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a), sehingga Pasal 57 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 57

  1. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

  2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang- undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.#NL#(2a) Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:

    1. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);

    2. perintah kepada pembuat undang-undang; dan

    3. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  3. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan Permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.

Pasal 59

  1. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.

  2. Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 60

  1. Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

  2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.


    Pasal 65

    dihapus

    1. Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 79

  1. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disampaikan kepada:

    1. Majelis Permusyawaratan Rakyat;

    2. DPR;

    3. Dewan Perwakilan Daerah;

    4. Presiden/Pemerintah;

    5. Komisi Pemilihan Umum;

    6. partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon; dan

    7. pasangan calon peserta pemilihan umum.

  2. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disampaikan kepada Presiden, pemohon, dan Komisi Pemilihan Umum.

  3. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum bersifat final dan mengikat.

Pasal 87

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; dan

  2. hakim konstitusi yang saat ini menjabat tetap menjabat sampai dengan diberhentikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal II

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan Di Jakarta, Pada Tanggal 20 Juli 2011

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 20 Juli 2011

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 70

PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

I UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang ini merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Perubahan Undang-Undang tersebut dilatarbelakangi karena terdapat beberapa ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.

Beberapa pokok materi penting dalam perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, antara lain susunan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi; pengawasan hakim konstitusi; masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, syarat pendidikan untuk dapat diangkat sebagai hakim konstitusi, serta Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim Mahkamah Konstitusi.

II PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1

Cukup jelas.

Angka 2

Pasal 1

Pasal 4

Cukup jelas.

Angka 3

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Pasal 6

Yang dimaksud dengan “jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya” adalah penjagaan keamanan yang diberikan kepada hakim konstitusi dalam menghadiri dan memimpin persidangan. Hakim konstitusi harus diberikan perlindungan keamanan oleh aparat terkait, yakni aparat kepolisian, agar hakim konstitusi mampu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak mana pun.

Ayat 3

Angka 4

Cukup jelas.

Angka 5

Cukup jelas.

Angka 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Pasal 7A

Cukup jelas.

Pasal 7B

Angka 7

Cukup jelas.

Angka 8

Cukup jelas.

Angka 9

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Pasal 8

Pasal 15

Yang dimaksud dengan “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” adalah menjalankan ajaran agama.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Angka 10

Cukup jelas.

Angka 11

Cukup jelas.

Angka 12

Cukup jelas.

Angka 13

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Angka 10

Cukup jelas.

Angka 11

Cukup jelas.

Angka 12

Cukup jelas.

Angka 13

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Cukup jelas.

Ayat 6

Cukup jelas.

Ayat 7

Pasal 23

Pasal 26

Pasal 27A

Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam ketentuan ini dibuat dengan persetujuan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Cukup jelas.

Angka 14

Cukup jelas.

Angka 15

Pasal 27B

Pasal 32

Cukup jelas.

Angka 16

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Pasal 33A

Pasal 34

Yang dimaksud dengan media elektronik adalah situs (web site) Mahkamah Konstitusi.

Ayat 4

Cukup jelas.

Angka 17

Cukup jelas.

Angka 18

Cukup jelas.

Angka 19

Cukup jelas.

Angka 20

Cukup jelas.

Angka 21

Cukup jelas.

Pasal 35

Pasal 35A

Pasal 41

Pasal 42A

Pasal 45A

Ayat 1

Huruf a

Pasal 48A

Ketetapan Mahkamah Konstitusi mengenai “permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi” dilakukan berdasarkan tugas dan kewenangan serta sebelum masuk pemeriksaan di persidangan.

Huruf b

Yang dimaksud “pemohon menarik kembali Permohonan” adalah pada saat Permohonan sudah masuk pemeriksaan di persidangan atau setelah sidang panel.

Ayat 3

Cukup jelas.

Angka 23

Cukup jelas.

Angka 24

Cukup jelas.

Angka 25

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Angka 23

Cukup jelas.

Angka 24

Cukup jelas.

Angka 25

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Pasal 50A

Pasal 51A

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan”, antara lain Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait, seperti Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Tertib.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Angka 27

Cukup jelas.

Angka 28

Cukup jelas.

Angka 29

Cukup jelas.

Angka 30

Cukup jelas.

Angka 31

Cukup jelas.

Pasal 57

Pasal 59

Pasal 60

Pasal 79

Pasal 87

Cukup jelas.

Pasal II


Meta Keterangan
Tipe Dokumen
Judul Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
T.E.U. Badan/Pengarang Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika
Nomor Peraturan 8
Jenis / Bentuk Peraturan Undang-undang
Singkatan Jenis/Bentuk Peraturan UU
Tempat Penetapan Jakarta
Tanggal-Bulan-Tahun Penetapan/Pengundangan 20-07-2011  /  20-07-2011
Sumber -
Subjek
Status Peraturan Berlaku

Bahasa Indonesia
Lokasi
Bidang Hukum -
Lampiran