bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka mempunyai peranan penting guna menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22E ayat (2), Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam ketentuan ini dibuat dengan persetujuan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Cukup jelas.
Angka 14
Cukup jelas.
Angka 15
Cukup jelas.
Angka 16
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Yang dimaksud dengan media elektronik adalah situs (web site) Mahkamah Konstitusi.
Ayat 4
Cukup jelas.
Angka 17
Cukup jelas.
Angka 18
Cukup jelas.
Angka 19
Cukup jelas.
Angka 20
Cukup jelas.
Angka 21
Cukup jelas.
Ayat 1
Huruf a
Ketetapan Mahkamah Konstitusi mengenai “permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi” dilakukan berdasarkan tugas dan kewenangan serta sebelum masuk pemeriksaan di persidangan.
Huruf b
Yang dimaksud “pemohon menarik kembali Permohonan” adalah pada saat Permohonan sudah masuk pemeriksaan di persidangan atau setelah sidang panel.
Ayat 3
Cukup jelas.
Angka 23
Cukup jelas.
Angka 24
Cukup jelas.
Angka 25
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Angka 23
Cukup jelas.
Angka 24
Cukup jelas.
Angka 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan”, antara lain Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait, seperti Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Tertib.
Ayat 4
Cukup jelas.
Ayat 5
Angka 27
Cukup jelas.
Angka 28
Cukup jelas.
Angka 29
Cukup jelas.
Angka 30
Cukup jelas.
Angka 31
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Yang dimaksud dengan “jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya” adalah penjagaan keamanan yang diberikan kepada hakim konstitusi dalam menghadiri dan memimpin persidangan. Hakim konstitusi harus diberikan perlindungan keamanan oleh aparat terkait, yakni aparat kepolisian, agar hakim konstitusi mampu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak mana pun.
Ayat 3
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” adalah menjalankan ajaran agama.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat 4
Cukup jelas.
Ayat 5
Cukup jelas.
Ayat 6
Cukup jelas.
Ayat 7
UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
menimbang
bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka mempunyai peranan penting guna menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
mengingat
Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22E ayat (2), Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
memperhatikan
memutuskan
menetapkan
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
BAB IVA
KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM KONSTITUSI SERTA MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pasal 27A
Mahkamah Konstitusi wajib menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan.
Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang keanggotannya terdiri atas:
1 (satu) orang hakim konstitusi;
1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial;
1 (satu) orang dari unsur DPR;
1 (satu) orang dari unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; dan
1 (satu) orang hakim agung.
Dalam melaksanakan tugasnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi berpedoman pada:
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi;
tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi; dan
norma dan peraturan perundang-undangan.
Tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b memuat mekanisme penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dan jenis sanksi.
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
teguran tertulis;
pemberhentian sementara; atau
pemberhentian.
Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang berasal dari hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, organisasi, dan tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 27B
Untuk menjaga dan menegakkan integritas dan kepribadian yang tidak tercela, keadilan, dan kenegarawanan:
hakim konstitusi wajib:
menaati peraturan perundang-undangan;
menghadiri persidangan;
menjalankan hukum acara sebagaimana mestinya;
menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi;
memperlakukan para pihak yang berperkara dengan adil, tidak diskriminatif, dan tidak memihak; dan
menjatuhkan putusan secara objektif didasarkan pada fakta dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
hakim konstitusi dilarang:
melanggar sumpah jabatan/janji;
menerima suatu pemberian atau janji dari pihak yang berperkara, baik langsung maupun tidak langsung; dan/atau
mengeluarkan pendapat atau pernyataan di luar persidangan atas suatu perkara yang sedang ditanganinya mendahului putusan.
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
Terhadap setiap Permohonan yang diajukan, Panitera Mahkamah Konstitusi melakukan
pemeriksaan kelengkapan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31.
Dalam hal Permohonan belum memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon diberi kesempatan untuk melengkapi Permohonan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon.
Permohonan yang telah memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan kepada pemohon diberikan tanda terima.
Dalam hal kelengkapan Permohonan tidak dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan akta yang menyatakan bahwa Permohonan tidak diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan diberitahukan kepada pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan.
Pasal 33A
Mahkamah Konstitusi menyampaikan salinan Permohonan kepada DPR dan Presiden dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal Permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Penyampaian salinan Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tanda terima.
Pasal 34
Mahkamah Konstitusi menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada pemohon, termohon, dan pihak terkait serta diumumkan kepada masyarakat.
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menempelkannya di papan pengumuman yang khusus dibuat untuk itu dan/atau melalui media cetak atau media elektronik.
Pemberitahuan penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sudah diterima oleh para pihak yang berperkara dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum hari persidangan.
Pasal 35
Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.
(1a) Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan.
Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat#NL#diajukan kembali.
Pasal 35A
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 tidak dibebani biaya perkara.
19
Ketentuan Pasal 41 ayat (1) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (4), sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41
Dalam pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, hakim konstitusi memeriksa Permohonan beserta alat bukti yang diajukan.
Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan Permohonan.
Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan penjelasannya dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim konstitusi diterima.
Pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pemeriksaan pokok Permohonan;
pemeriksaan alat bukti tertulis;
mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara;
mendengarkan keterangan saksi;
mendengarkan keterangan ahli;
mendengarkan keterangan pihak terkait;
pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; dan
pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan alat bukti itu.
20
Di antara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 42A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42A
Saksi dan ahli dapat diajukan oleh para pihak yang berperkara, pihak terkait, atau dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Saksi dan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan keterangan di bawah sumpah atau janji.
Saksi dan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang.
Pasal 45A
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok Permohonan.
22
Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 48A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48A
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan ketetapan dalam hal:
Permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara yang dimohonkan; atau
pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1a).
Amar ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berbunyi, “Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili Permohonan pemohon”.
Amar ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berbunyi, “Menyatakan Permohonan pemohon ditarik kembali”.
Pasal 50
dihapus
Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 50A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50A
Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menggunakan undang-undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum.
25
Di antara Pasal 51 dan Pasal 52 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 51A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 51A
Permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus memuat hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
Uraian mengenai hal yang menjadi dasar Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara Permohonan pengujian undang-undang meliputi:
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian;
kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; dan
alasan Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diuraikan dengan jelas dan terperinci.
Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal Permohonan pengujian berupa Permohonan pengujian formil, hal yang dimohonkan untuk diputus dalam Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c meliputi:
mengabulkan Permohonan pemohon;
menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam hal Permohonan pengujian berupa Permohonan pengujian materiil, hal yang dimohonkan untuk diputus dalam Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c meliputi:
mengabulkan Permohonan pemohon;
menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
26
Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 57 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a), sehingga Pasal 57 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 57
Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang- undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.#NL#(2a) Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
perintah kepada pembuat undang-undang; dan
rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan Permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Pasal 59
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.
Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 60
Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 65
dihapus
Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 79
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disampaikan kepada:
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
DPR;
Dewan Perwakilan Daerah;
Presiden/Pemerintah;
Komisi Pemilihan Umum;
partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon; dan
pasangan calon peserta pemilihan umum.
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disampaikan kepada Presiden, pemohon, dan Komisi Pemilihan Umum.
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum bersifat final dan mengikat.
Pasal 87
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; dan
hakim konstitusi yang saat ini menjabat tetap menjabat sampai dengan diberhentikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta, Pada Tanggal 20 Juli 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 20 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 70
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
I UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang ini merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Perubahan Undang-Undang tersebut dilatarbelakangi karena terdapat beberapa ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.
Beberapa pokok materi penting dalam perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, antara lain susunan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi; pengawasan hakim konstitusi; masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, syarat pendidikan untuk dapat diangkat sebagai hakim konstitusi, serta Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim Mahkamah Konstitusi.
II PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 1
Pasal 4
Cukup jelas.
Angka 3
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya” adalah penjagaan keamanan yang diberikan kepada hakim konstitusi dalam menghadiri dan memimpin persidangan. Hakim konstitusi harus diberikan perlindungan keamanan oleh aparat terkait, yakni aparat kepolisian, agar hakim konstitusi mampu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak mana pun.
Ayat 3
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Pasal 7A
Cukup jelas.
Pasal 7B
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pasal 8
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” adalah menjalankan ajaran agama.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat 4
Cukup jelas.
Ayat 5
Cukup jelas.
Ayat 6
Cukup jelas.
Ayat 7
Pasal 23
Pasal 26
Pasal 27A
Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam ketentuan ini dibuat dengan persetujuan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Cukup jelas.
Angka 14
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 27B
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 16
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Pasal 33A
Pasal 34
Yang dimaksud dengan media elektronik adalah situs (web site) Mahkamah Konstitusi.
Ayat 4
Cukup jelas.
Angka 17
Cukup jelas.
Angka 18
Cukup jelas.
Angka 19
Cukup jelas.
Angka 20
Cukup jelas.
Angka 21
Cukup jelas.
Pasal 35
Pasal 35A
Pasal 41
Pasal 42A
Pasal 45A
Ayat 1
Huruf a
Pasal 48A
Ketetapan Mahkamah Konstitusi mengenai “permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi” dilakukan berdasarkan tugas dan kewenangan serta sebelum masuk pemeriksaan di persidangan.
Huruf b
Yang dimaksud “pemohon menarik kembali Permohonan” adalah pada saat Permohonan sudah masuk pemeriksaan di persidangan atau setelah sidang panel.
Ayat 3
Cukup jelas.
Angka 23
Cukup jelas.
Angka 24
Cukup jelas.
Angka 25
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Angka 23
Cukup jelas.
Angka 24
Cukup jelas.
Angka 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pasal 50A
Pasal 51A
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan”, antara lain Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait, seperti Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Tertib.
Ayat 4
Cukup jelas.
Ayat 5
Angka 27
Cukup jelas.
Angka 28
Cukup jelas.
Angka 29
Cukup jelas.
Angka 30
Cukup jelas.
Angka 31
Cukup jelas.
Pasal 57
Pasal 59
Pasal 60
Pasal 79
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal II
Meta | Keterangan |
---|---|
Tipe Dokumen | |
Judul | Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi |
T.E.U. Badan/Pengarang | Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika |
Nomor Peraturan | 8 |
Jenis / Bentuk Peraturan | Undang-undang |
Singkatan Jenis/Bentuk Peraturan | UU |
Tempat Penetapan | Jakarta |
Tanggal-Bulan-Tahun Penetapan/Pengundangan | 20-07-2011 / 20-07-2011 |
Sumber | - |
Subjek | |
Status Peraturan |
Berlaku
|
Bahasa | Indonesia |
Lokasi | |
Bidang Hukum | - |
Lampiran |