bahwa ketentuan teknis penyadapan terhadap informasi untuk keperluan proses peradilan pidana belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
bahwa sehubungan dengan huruf a tersebut di atas, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671);
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698);
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150;
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881);
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169);
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik, Indonesia Tahun 2002 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324);
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250);
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284);
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Born di Bali tangal 12 Oktober 2002, menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4285);
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3980);
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3981);
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;18.' Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005;
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.20 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.29 Tahun 2004;
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.30 Tahun 2004;
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 01/P/M.Kominfo/4/2005 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Komunikasi dan Informatika;
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 03/P/M.Kominfo/5/2005 tentang Penyesuaian Kata Sebutan pada Beberapa Keputusan/Peraturan Menteri Perhubungan yang Mengatur Materi Muatan Khusus di Bidang Pos dan Telekomunikasi;
PERATURAN MENTERI X0MUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG TEKNIS PENYADAPAN TERHADAP INFORMASI.
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-. tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.
Alat Telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
Sarana dan Prasarana Telekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi.
Penyelenggara Jaringan dan atau Jasa Telekomunikasi yang selanjutnya disebut Penyelenggara Telekomunikasi adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Swasta atau Koperasi yang menyelenggarakan telekomunikasi.
Penyelenggaraan Telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.
Penyadapan Informasi adalah mendengarkan, mencatat, atau merekam suatu pembicaraan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dengan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi tanpa sepengetahuan orang yang melakukan pembicaraan atau komunikasi tersebut.
Penegak Hukum adalah aparat yang diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan informasi berdasarkan undang-undang yang memerlukan adanya tindakan penyadapan informasi.
Penyadapan informasi secara sah (Lawful Interception) adalah kegiatan penyadapan informasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk kepentingan penegakan hukum yang dikendalikan dan hasilnya dikirimkan ke Pusat Pemantauan (Monitoring Center) milik aparat penegak hukum.
Jaringan Telekomunikasi adalah rangkaian telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
Pengguna adalah pelanggan dan atau pemakai layanan dari penyelenggaraan telekomunikasi.
Identifikasi Sasaran adalah tindakan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum untuk menandai nomor pengguna yang diduga terlibat tindak pidana.
Pusat Pemantauan (Monitoring Centre) adalah fasilitas monitoring Aparat Penegak Hukum yang dijadikan tujuan transmisi/pengiriman hasil dari penyadapan terhadap pembicaraan/telekomunikasi pihak tertentu yang menjadi subjek penyadapan.
Standar Operasional Prosedur yang selanjutnya disebut SOP adalah ketentuan tertulis yang bersifat baku yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan penyadapan informasi oleh masing-masing aparat Penegak Hukum.
Tim Pengawas adalah Tim yang dibentuk Direktur Jenderal untuk melakukan verifikasi aspek legal dan teknis pelaksanaan penyadapan informasi secara sah.
Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi.
Penyadapan terhadap informasi secara sah dilaksanakan berdasarkan azas :
perlindungan konsumen demi kelancaran dalam bertelekomunikasi;
effiensi, kesinambungan operasi dan pemeliharaan penyelenggaraan telekomunikasi;
kepastian hukum;
partisipasi dalam upaya penegakan hukum;
kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
kepentingan umum; dan
keamanan informasi.
Penyadapan terhadap informasi secara sah (lawful interception) dilaksanakan dengan tujuan untuk keperluan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap suatu peristiwa tindak pidana.
Penyadapan informasi hanya dibenarkan apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Penyadapan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hanya dapat dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum melalui alat dan/atau perangkat penyadapan informasi.
Alat dan/atau perangkat penyadapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terpasang pada alat perangkat telekomunikasi dan atau pada pusat pemantauan.
Alat dan/atau perangkat penyadapan informasi dan proses identifikasi sasaran dikendalikan oleh Aparat Penegak Hukum.
Alat dan/atau perangkat penyadapan informasi meliputi :
perangkat antar muka (interface) penyadapan ;
pusat pemantauan (monitoring centre); dan.
sarana, prasarana transmisi penghubung (link transmission);
Konfigurasi teknis alat dan/atau perangkat penyadapan sesuai dengan ketentuan standar internasional yang berlaku dengan memperhatikan prinsip kompatibilitas.
Standar internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain European Telecommunications Standards Institute (ETSI) atau Communications Assistance for Law Enforcement Act (CALEA).
Alat/atau perangkat penyadapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disiapkan oleh penyelenggara telekomunikasi.
. Alat dan/atau perangkat penyadapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disiapkan oleh aparat penegak hukum.
Penyelenggara telekomunikasi wajib memberi bantuan informasi teknis yang diperlukan aparat penegak hukum, termasuk standar teknik, konfigurasi, dan kemampuan perangkat antar muka (interface) milik Penyelenggara Telekomunikasi yang disiapkan untuk disambungkan dengan sistem Pusat Pemantauan.
Aparat Penegak Hukum mengirim identifikasi sasaran kepada penyelenggara telekomunikasi
. Pelaksanaan pengiriman identifikasi sasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronis dan dalam hal sarana elektronis tidak tersedia dilakukan secara non elektronis.
Mekanisme penyadapan terhadap telekomunikasi secara sah oleh aparat penegak hukum, dilaksanakan berdasarkan SOP yang ditetapkan oleh aparat Penegak Hukum dan diberitahukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal.
Penyelenggara telekomunikasi wajib membantu kelancaran proses penyadapan informasi melalui sarana dan prasarana telekomunikasi.
Pengambilan data dan informasi hasil penyadapan informasi secara sah dilakukan secara langsung oleh aparat penegak hukum berdasarkan SOP dengan tidak mengganggu kelancaran telekomunikasi dari pengguna telekomunikasi.
Dalam hal penyadapan terhadap informasi secara sah, penyelenggara telekomunikasi harus :
membantu tugas aparat penegak hukum;
menjaga dan memelihara perangkat penyadapan informasi termasuk perangkat antar muka (interface) yang berada di area Penyelenggara Telekomunikasi;
bersama-sama dengan aparat penegak hukum, menjamin ketersambungan sarana antar muka (interface) penyadapan informasi ke pusat pemantauan (monitoring centre).
Dalam hal melakukan penyadapan terhadap informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Aparat Penegak Hukum wajib bekerjasama dengan Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Setiap Penyelenggara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 harus menyiapkan kapasitas rekaman paling banyak 2% dari yang terdaftar dalam Home Location Register (HLR) untuk seluler dan paling banyak 2% dari kapasitas terpasang untuk setiap sentral lokal Public Switch Telephone Network (PSTN).
Pusat Pemantauan dapat berfungsi sebagai gerbang komunikasi (gateway) bagi Aparat Penegak Hukum untuk melakukan penyadapan informasi secara sah.
Untuk menjamin transparansi dan independensi pelaksanaan .penyadapan informasi secara sah yang dilakukan oleh Penegak Hukum, Direktur Jenderal membentuk Tim Pengawas.
Tim Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur Direktorat Jenderal, aparat Penegak Hukum dan Penyelenggara Telekomunikasi.
Tugas dan wewenang Tim Pengawas hanya terbatas pada penelitian legalitas surat perintah tugas aparat penegak hukum.
Tata cara dan mekanisme pelaksanaan tugas Tim Pengawas ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
informasi yang diperoleh melalui penyadapan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini bersifat rahasia dan dapat dipergunakan oleh Aparat Penegak Hukum untuk mengungkap suatu tindak
Penyelenggara telekomunikasi, Aparat Penegak Hukum, dan pihak-pihak yang terkait dengan diperolehnya informasi melalui penyadapan secara sah ini dilarang baik dengan sengaja atau tidak sengaja menjual, memperdagangkan, mengalihkan, mentransfer dan/atau menyebarkan informasi penyadapan baik secara tertulis, lisan maupun menggunakan komunikasi elektronik kepada pihak manapun.
Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan huruf c ditanggung oleh Aparat Penegak Hukum.
. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 12 ditanggung oleh Penyelenggara Telekomunikasi.
Penerapan sistem penyadapan informasi secara sah dilaksanakan secara bertahap.
Sistem penyadapan informasi secara sah dioperasikan secara serentak oleh Penyelenggara Telekomunikasi mulai tanggal 1 April 2006.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
NOMOR 11/PER/M.KOMINFO/02/2006 TAHUN 2006
TENTANG
TEKNIS PENYADAPAN TERHADAP INFORMASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA,
menimbang
bahwa ketentuan teknis penyadapan terhadap informasi untuk keperluan proses peradilan pidana belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
bahwa sehubungan dengan huruf a tersebut di atas, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi;
mengingat
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671);
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698);
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150;
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881);
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169);
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik, Indonesia Tahun 2002 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324);
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250);
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284);
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Born di Bali tangal 12 Oktober 2002, menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4285);
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3980);
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3981);
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;
18.' Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005;
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.20 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.29 Tahun 2004;
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.30 Tahun 2004;
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 01/P/M.Kominfo/4/2005 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Komunikasi dan Informatika;
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 03/P/M.Kominfo/5/2005 tentang Penyesuaian Kata Sebutan pada Beberapa Keputusan/Peraturan Menteri Perhubungan yang Mengatur Materi Muatan Khusus di Bidang Pos dan Telekomunikasi;
memperhatikan
memutuskan
menetapkan
PERATURAN MENTERI X0MUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG TEKNIS PENYADAPAN TERHADAP INFORMASI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-. tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.
Alat Telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
Sarana dan Prasarana Telekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi.
Penyelenggara Jaringan dan atau Jasa Telekomunikasi yang selanjutnya disebut Penyelenggara Telekomunikasi adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Swasta atau Koperasi yang menyelenggarakan telekomunikasi.
Penyelenggaraan Telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.
Penyadapan Informasi adalah mendengarkan, mencatat, atau merekam suatu pembicaraan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dengan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi tanpa sepengetahuan orang yang melakukan pembicaraan atau komunikasi tersebut.
Penegak Hukum adalah aparat yang diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan informasi berdasarkan undang-undang yang memerlukan adanya tindakan penyadapan informasi.
Penyadapan informasi secara sah (Lawful Interception) adalah kegiatan penyadapan informasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk kepentingan penegakan hukum yang dikendalikan dan hasilnya dikirimkan ke Pusat Pemantauan (Monitoring Center) milik aparat penegak hukum.
Jaringan Telekomunikasi adalah rangkaian telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
Pengguna adalah pelanggan dan atau pemakai layanan dari penyelenggaraan telekomunikasi.
Identifikasi Sasaran adalah tindakan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum untuk menandai nomor pengguna yang diduga terlibat tindak pidana.
Pusat Pemantauan (Monitoring Centre) adalah fasilitas monitoring Aparat Penegak Hukum yang dijadikan tujuan transmisi/pengiriman hasil dari penyadapan terhadap pembicaraan/telekomunikasi pihak tertentu yang menjadi subjek penyadapan.
Standar Operasional Prosedur yang selanjutnya disebut SOP adalah ketentuan tertulis yang bersifat baku yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan penyadapan informasi oleh masing-masing aparat Penegak Hukum.
Tim Pengawas adalah Tim yang dibentuk Direktur Jenderal untuk melakukan verifikasi aspek legal dan teknis pelaksanaan penyadapan informasi secara sah.
Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi.
BAB II
AZAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyadapan terhadap informasi secara sah dilaksanakan berdasarkan azas :
perlindungan konsumen demi kelancaran dalam bertelekomunikasi;
effiensi, kesinambungan operasi dan pemeliharaan penyelenggaraan telekomunikasi;
kepastian hukum;
partisipasi dalam upaya penegakan hukum;
kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
kepentingan umum; dan
keamanan informasi.
Pasal 3
Penyadapan terhadap informasi secara sah (lawful interception) dilaksanakan dengan tujuan untuk keperluan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap suatu peristiwa tindak pidana.
BAB III
PENYADAPAN INFORMASI
Pasal 4
Penyadapan informasi hanya dibenarkan apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Penyadapan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hanya dapat dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum melalui alat dan/atau perangkat penyadapan informasi.
Alat dan/atau perangkat penyadapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terpasang pada alat perangkat telekomunikasi dan atau pada pusat pemantauan.
Alat dan/atau perangkat penyadapan informasi dan proses identifikasi sasaran dikendalikan oleh Aparat Penegak Hukum.
BAB IV
ALAT DAN PERANGKAT PENYADAPAN INFORMASI
Pasal 6
Alat dan/atau perangkat penyadapan informasi meliputi :
perangkat antar muka (interface) penyadapan ;
pusat pemantauan (monitoring centre); dan.
sarana, prasarana transmisi penghubung (link transmission);
Konfigurasi teknis alat dan/atau perangkat penyadapan sesuai dengan ketentuan standar internasional yang berlaku dengan memperhatikan prinsip kompatibilitas.
Standar internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain European Telecommunications Standards Institute (ETSI) atau Communications Assistance for Law Enforcement Act (CALEA).
Alat/atau perangkat penyadapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disiapkan oleh penyelenggara telekomunikasi.
. Alat dan/atau perangkat penyadapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disiapkan oleh aparat penegak hukum.
Penyelenggara telekomunikasi wajib memberi bantuan informasi teknis yang diperlukan aparat penegak hukum, termasuk standar teknik, konfigurasi, dan kemampuan perangkat antar muka (interface) milik Penyelenggara Telekomunikasi yang disiapkan untuk disambungkan dengan sistem Pusat Pemantauan.
BAB V
MEKANISME TEKNIS PENYADAPAN INFORMASI SECARA SAH
Pasal 7
Aparat Penegak Hukum mengirim identifikasi sasaran kepada penyelenggara telekomunikasi
. Pelaksanaan pengiriman identifikasi sasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronis dan dalam hal sarana elektronis tidak tersedia dilakukan secara non elektronis.
Pasal 8
Mekanisme penyadapan terhadap telekomunikasi secara sah oleh aparat penegak hukum, dilaksanakan berdasarkan SOP yang ditetapkan oleh aparat Penegak Hukum dan diberitahukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal.
Penyelenggara telekomunikasi wajib membantu kelancaran proses penyadapan informasi melalui sarana dan prasarana telekomunikasi.
Pasal 9
Pengambilan data dan informasi hasil penyadapan informasi secara sah dilakukan secara langsung oleh aparat penegak hukum berdasarkan SOP dengan tidak mengganggu kelancaran telekomunikasi dari pengguna telekomunikasi.
Pasal 10
Dalam hal penyadapan terhadap informasi secara sah, penyelenggara telekomunikasi harus :
membantu tugas aparat penegak hukum;
menjaga dan memelihara perangkat penyadapan informasi termasuk perangkat antar muka (interface) yang berada di area Penyelenggara Telekomunikasi;
bersama-sama dengan aparat penegak hukum, menjamin ketersambungan sarana antar muka (interface) penyadapan informasi ke pusat pemantauan (monitoring centre).
Pasal 11
Dalam hal melakukan penyadapan terhadap informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Aparat Penegak Hukum wajib bekerjasama dengan Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Pasal 12
Setiap Penyelenggara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 harus menyiapkan kapasitas rekaman paling banyak 2% dari yang terdaftar dalam Home Location Register (HLR) untuk seluler dan paling banyak 2% dari kapasitas terpasang untuk setiap sentral lokal Public Switch Telephone Network (PSTN).
BAB VI
PUSAT PEMANTAUAN
Pasal 13
Pusat Pemantauan dapat berfungsi sebagai gerbang komunikasi (gateway) bagi Aparat Penegak Hukum untuk melakukan penyadapan informasi secara sah.
BAB VII
TIM PENGAWAS
Pasal 14
Untuk menjamin transparansi dan independensi pelaksanaan .penyadapan informasi secara sah yang dilakukan oleh Penegak Hukum, Direktur Jenderal membentuk Tim Pengawas.
Tim Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur Direktorat Jenderal, aparat Penegak Hukum dan Penyelenggara Telekomunikasi.
Pasal 15
Tugas dan wewenang Tim Pengawas hanya terbatas pada penelitian legalitas surat perintah tugas aparat penegak hukum.
Pasal 16
Tata cara dan mekanisme pelaksanaan tugas Tim Pengawas ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
BAB VIII
KERAHASIAAN
Pasal 17
informasi yang diperoleh melalui penyadapan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini bersifat rahasia dan dapat dipergunakan oleh Aparat Penegak Hukum untuk mengungkap suatu tindak
Penyelenggara telekomunikasi, Aparat Penegak Hukum, dan pihak-pihak yang terkait dengan diperolehnya informasi melalui penyadapan secara sah ini dilarang baik dengan sengaja atau tidak sengaja menjual, memperdagangkan, mengalihkan, mentransfer dan/atau menyebarkan informasi penyadapan baik secara tertulis, lisan maupun menggunakan komunikasi elektronik kepada pihak manapun.
BAB IX
BIAYA
Pasal 18
Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan huruf c ditanggung oleh Aparat Penegak Hukum.
. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 12 ditanggung oleh Penyelenggara Telekomunikasi.
BAB X
KETENTUAN LAINLAIN
Pasal 19
Penerapan sistem penyadapan informasi secara sah dilaksanakan secara bertahap.
Sistem penyadapan informasi secara sah dioperasikan secara serentak oleh Penyelenggara Telekomunikasi mulai tanggal 1 April 2006.
BAB XI
PENUTUP
Pasal 20
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : JAKARTA
Pada tanggal : 22 Pebruari 2006
MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA,
ttd.
SOFYAN A. DJALIL
Meta | Keterangan | ||
---|---|---|---|
Tipe Dokumen | Peraturan Perundang-undangan | ||
Judul | Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan terhadap Informasi | ||
T.E.U. Badan/Pengarang | Indonesia. Kementrian Komunikasi dan Informatika | ||
Nomor Peraturan | 11 | ||
Jenis / Bentuk Peraturan | Peraturan Menteri | ||
Singkatan Jenis/Bentuk Peraturan | PERMEN | ||
Tempat Penetapan | Jakarta | ||
Tanggal-Bulan-Tahun Penetapan/Pengundangan | 22-02-2006 / 22-02-2006 | ||
Sumber |
|
||
Subjek | INFORMASI – TEKNIS PENYADAPAN | ||
Status Peraturan |
Tidak Berlaku
Keterangan Dicabut: |
||
Bahasa | Indonesia | ||
Lokasi | BIRO HUKUM | ||
Bidang Hukum | - | ||
Lampiran |