Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 4 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pos

Menimbang

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 294 ayat 5, Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, serta Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penyelenggaraan Pos;

Mengingat

  1. Pasal 17 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5065);
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5403);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6617);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6658);
  7. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2015 tentang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 96);
  8. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 6 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1019);

Menetapkan

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG PENYELENGGARAAN POS.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
  2. Pos adalah Layanan Komunikasi Tertulis dan/atau Surat Elektronik, Layanan Paket, Layanan Logistik, Layanan Transaksi Keuangan, dan Layanan Keagenan Pos untuk kepentingan umum.
  3. Layanan Pos Universal yang selanjutnya disingkat LPU adalah layanan Pos jenis tertentu yang wajib dijamin oleh pemerintah untuk menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memungkinkan masyarakat mengirim dan/atau menerima kiriman dari satu tempat ke tempat lain di dunia.
  4. Penyelenggara Pos adalah suatu badan usaha yang menyelenggarakan Pos.
  5. Penyelenggara Layanan Pos Universal yang selanjutnya disebut Penyelenggara LPU adalah Penyelenggara Pos yang mendapat penugasan untuk melaksanakan Layanan Pos Universal.
  6. Penyelenggaraan Pos adalah keseluruhan kegiatan pengelolaan dan penatausahaan layanan pos.
  7. Layanan Transaksi Keuangan adalah kegiatan penyetoran, penyimpanan, pemindahbukuan, pendistribusian, dan pembayaran uang dari/atau untuk pengguna jasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  8. Transfer Dana adalah rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari pengirim asal yang bertujuan untuk memindahkan sejumlah dana kepada penerima yang disebutkan dalam perintah Transfer Dana sampai dengan diterimanya dana oleh penerima.
  9. Wesel Pos adalah layanan pengiriman uang secara tunai dan/atau transfer yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Pos.
  10. Tabungan Pos adalah simpanan uang melalui Penyelenggara Pos yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu.
  11. Giro Pos adalah simpanan Rupiah pada Penyelenggara Pos yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek pos, bilyet giro pos, sarana pembayaran/penarikan, atau dengan pemindahbukuan.
  12. Simpanan Pos adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada Penyelenggara Pos berdasarkan perjanjian penyimpanan uang dalam bentuk Giro Pos dan/atau Tabungan Pos.
  13. Rekening Giro Pos adalah rekening Giro Pos Rupiah yang dananya dapat ditarik setiap saat dengan menggunakan sarana perintah pembayaran atau melalui pemindahbukuan.
  14. Rekening Koran Pos adalah laporan yang memuat posisi dan mutasi atas transaksi yang terjadi pada Rekening Giro Pos dan/atau Tabungan Pos.
  15. Spesimen Tanda Tangan adalah contoh tanda tangan yang ditulis pada formulir yang disediakan oleh Penyelenggara Pos untuk keperluan layanan transaksi keuangan.
  16. Sistem Pembayaran adalah suatu sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, mekanisme, infrastruktur, sumber dana untuk pembayaran, dan akses ke sumber dana untuk pembayaran, yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.
  17. Rekening Pos adalah rekening Giro Pos, dan/atau rekening Tabungan Pos, baik yang dimiliki oleh perseorangan, institusi, maupun bersama, yang dapat didebit dan/atau dikredit dalam rangka pelaksanaan Layanan Transaksi Keuangan, termasuk Rekening Pos antarkantor Penyelenggara Pos yang sama.
  18. Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos adalah prinsip yang diterapkan Penyelenggara Pos dalam rangka mengetahui profil, karakteristik, serta pola transaksi keuangan yang dilakukan oleh Pengguna Layanan Pos atau calon Pengguna Layanan Pos.
  19. Standar Operasional Prosedur yang selanjutnya disingkat SOP adalah seperangkat aturan yang menjadi petunjuk bagi Penyelenggara Pos dalam menyelenggarakan layanan Pos.
  20. Pengguna Layanan Pos adalah seluruh pihak yang menggunakan layanan Pos.
  21. Hari adalah Hari Kerja.
  22. Kantor Layanan Pos Universal yang selanjutnya disebut Kantor LPU adalah kantor yang ditetapkan untuk menerima dana subsidi operasional.
  23. Benda Pos adalah semua jenis prangko, semua jenis formulir, kartu dan sampul yang dijual kepada umum.
  24. Barang Cetakan adalah segala jenis publikasi yang dicetak pada kertas atau bahan lain termasuk tetapi tidak terbatas pada buku, brosur, katalog, surat kabar, dan majalah.
  25. Verifikasi adalah kegiatan pencocokan data jumlah realisasi produksi kiriman LPU dan data aspek operasional, sarana dan prasarana, dan aspek keuangan pada Kantor LPU yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Layanan Pos Universal yang terdiri atas Verifikasi Lapangan dan Verifikasi Dokumen.
  26. Verifikasi Lapangan adalah kegiatan pencocokan data jumlah realisasi produksi Kiriman Pos Universal dan data aspek operasional, sarana dan prasarana, dan aspek keuangan penyelenggaraan Layanan Pos Universal yang dilakukan di Kantor LPU.
  27. Verifikasi Dokumen adalah kegiatan pencocokan data administratif realisasi komponen produksi kiriman Pos universal dan biaya Kantor LPU dengan komponen biaya yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri ini.
  28. Kontribusi Penyelenggaraan Layanan Pos Universal yang selanjutnya disebut Kontribusi Penyelenggaraan LPU adalah kewajiban yang harus dibayar oleh setiap Penyelenggara Pos sebagai kontribusi terhadap pembiayaan layanan pos universal dan merupakan penerimaan negara bukan pajak.
  29. Denda Keterlambatan Pembayaran adalah denda yang dikenakan kepada Penyelenggara Pos akibat adanya keterlambatan pembayaran setelah melewati jatuh tempo pembayaran.
  30. Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU adalah kegiatan pencocokan dan penelitian tentang kebenaran laporan, pembayaran, pernyataan, dan perhitungan kontribusi penyelenggaraan LPU.
  31. Daftar Hitam Penyelenggara adalah daftar yang memuat identitas direksi, pengurus, dan/atau badan hukum yang dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  32. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara baik di kantor pusat maupun di kementerian kantor daerah atau satuan kerja negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.
  33. Bendahara Penerima adalah Bendahara Penerima Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika yang diangkat oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
  34. Instansi Pemeriksa adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
  35. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  36. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
  37. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang lingkup tugas dan fungsinya di bidang Penyelenggaraan Pos dan informatika.
  38. Direktur adalah direktur yang ruang lingkup tugas dan fungsinya di bidang pengendalian pos dan informatika.

Pasal 2

Penyelenggaraan Pos dilakukan oleh badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, yang terdiri atas:

  1. Badan Usaha Milik Negara;
  2. Badan Usaha Milik Daerah;
  3. Badan Usaha Milik Swasta; dan
  4. Koperas

Pasal 3

  1. Penyelenggara Pos wajib mendapatkan Perizinan Berusaha Penyelenggaraan Pos untuk menyelenggarakan kegiatannya.
  2. Persyaratan dan tata cara Perizinan Berusaha Penyelenggaraan Pos dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4

  1. Penyelenggara Pos yang telah memperoleh Perizinan Berusaha Penyelenggaraan Pos wajib menyediakan Layanan Pos sesuai dengan Perizinan Berusaha Penyelenggaraan Pos yang diperoleh.
  2. Layanan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri atas layanan: a. komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik; b. paket; c. logistik; d. transaksi keuangan; dan e. keagenan Pos.
  3. Penyelenggaraan layanan logistik dan Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf c dan huruf d, dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5

  1. Penyelenggara Pos yang akan melaksanakan Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 huruf d wajib paling sedikit menyediakan Layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 huruf a dan/atau huruf b.
  2. Penyelenggara Pos yang akan melaksanakan Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 huruf d wajib memiliki jaringan di seluruh ibukota provinsi di Indonesia.

Bagian Kesatu

Ruang Lingkup Layanan Transaksi Keuangan

Pasal 6

  1. Penyelenggara Pos dapat melaksanakan Layanan Transaksi Keuangan yang terdiri atas: a. Wesel Pos; b. Giro Pos; c. Transfer Dana; dan d. Tabungan Pos.
  2. Penyelenggara Pos yang akan menyelenggarakan Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang terkait dengan aktivitas pemindahan dana wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Penyelenggara Pos wajib melaporkan pelaksanaan kegiatan operasional Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 kepada Menteri paling lambat 10 (sepuluh) Hari sejak diterbitkannya izin dari Bank Indonesia.

Pasal 7

Penyelenggara Pos dalam melaksanakan Layanan Transaksi Keuangan wajib berdasarkan prinsip kehati-hatian, menerapkan tata kelola perusahaan yang baik serta mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8

  1. Penyelenggara Pos yang menyelenggarakan Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 yang terkait dengan aktivitas pemindahan dana wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia terkait penyelenggaraan Sistem Pembayaran.
  2. Ketentuan mengenai penyelenggaraan Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mencakup paling sedikit perizinan, penyelenggaraan kegiatan, pengawasan, kewajiban pelaporan, akses data dan informasi, pengenaan sanksi administratif, dan penghentian kegiatan.

Bagian Kedua

Transfer Dana dan Wesel Pos

Pasal 9

  1. Penyelenggara Pos dapat melakukan kegiatan Transfer Dana sebagai: a. penyelenggara Transfer Dana; dan b. tempat penguangan tunai melalui kerja sama dengan penyelenggara Transfer Dana yang telah memperoleh izin dan memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Penyelenggara Pos yang akan melakukan kegiatan Transfer Dana wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Kegiatan Transfer Dana oleh Penyelenggara Pos dilakukan dengan cara penerimaan dan/atau pengiriman secara tunai atau non-tunai melalui: a. Wesel Pos; dan/atau b. pemanfaatan Rekening Giro Pos atau Tabungan Pos sebagai sumber dana.
  4. Kegiatan Transfer Dana melalui Rekening Giro Pos atau Tabungan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf b hanya dapat diberikan apabila Penyelenggara Pos menyediakan layanan Giro Pos atau Tabungan Pos.

Pasal 10

  1. Pengguna layanan Pos dapat mengirimkan uang melalui Wesel Pos secara: a. tunai; dan b. transfer.
  2. Wesel Pos secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dilakukan dengan cara pengiriman uang secara tunai untuk disampaikan secara tunai kepada penerima.
  3. Wesel Pos secara transfer sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dilakukan dengan cara: a. pengiriman uang secara tunai untuk ditransfer ke Rekening Giro Pos, Tabungan Pos, dan/atau rekening pada bank; dan b. pengiriman uang melalui Rekening Giro Pos dan/atau Tabungan Pos, untuk diterima secara tunai.
  4. Pengiriman uang secara tunai untuk ditransfer ke rekening pada bank sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf a dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11

Biaya jasa atas kegiatan Transfer Dana dan Wesel Pos dibebankan kepada pengguna layanan.

Pasal 12

Kegiatan Transfer Dana dan Wesel Pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga

Simpanan Pos

Paragraf 1

Umum

Pasal 13

  1. Penyelenggara Pos dapat menyediakan layanan Simpanan Pos berupa: a. Giro Pos; dan/atau b. Tabungan Pos.
  2. Kegiatan Giro Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dilakukan secara mandiri.
  3. Kegiatan Tabungan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dilakukan secara mandiri atau bekerjasama dengan lembaga perbankan.
  4. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat 3 berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14

Penyelenggara Pos dalam menyelenggarakan operasional Kegiatan Giro Pos dan/atau Tabungan Pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 1 dapat bekerjasama dengan lembaga asuransi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2

Persyaratan Penyediaan Layanan Giro Pos dan/atau Tabungan

Pos Secara Mandiri

Pasal 15

  1. Penyelenggara Pos yang menyediakan layanan Giro Pos dan/atau Tabungan Pos wajib memiliki modal disetor paling sedikit Rp50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah).
  2. Dikecualikan terhadap Penyelenggara Pos yang memiliki penanam modal asing, modal yang disetor paling sedikit Rp100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah).

Pasal 16

  1. Penyelenggara Pos yang menyediakan layanan Giro Pos dan/atau Tabungan Pos wajib memiliki 1 (satu) direksi yang memiliki pengalaman operasional di bidang perbankan paling singkat 5 (lima) tahun.
  2. Pengalaman sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pada level jabatan paling rendah sebagai deputi direktur atau sederajat dan memiliki sertifikat manajemen risiko.
  3. Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang merangkap jabatan sebagai anggota direksi atau jabatan eksekutif lainnya pada perusahaan lain atau anak usaha lainnya.
  4. Anggota direksi dilarang mempunyai hubungan keluarga sampai derajat kedua menurut garis lurus maupun ke samping dengan anggota direksi lain atau dengan anggota dewan komisaris.
  5. Anggota direksi dilarang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima persen) pada perusahaan lain.

Paragraf 3 Fasilitas Giro Pos

Pasal 17

  1. Penyelenggara Pos yang menyediakan layanan Giro Pos dapat menyediakan fasilitas: a. layanan penyetoran, penyimpanan, penarikan, pemindahbukuan, pembayaran, dan administrasi terkait penatausahaan Rekening Giro Pos; b. sarana warkat pembukuan untuk penyetoran dan penarikan Rekening Giro Pos; c. sarana elektronik bagi Pemilik Rekening Giro Pos tertentu; d. layanan data dan/atau informasi hasil penyelesaian transaksi Rekening Giro Pos; dan e. layanan pemindahbukuan dilakukan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang undangan.
  2. Sarana elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4 Sarana Penyetoran dan Penarikan

Pasal 18

  1. Penyetoran dan/atau penarikan Rekening Giro Pos dilakukan dengan menggunakan: a. warkat penyetoran tunai; b. sarana penyetoran atau penarikan elektronik yang disediakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. sarana penyetoran atau penarikan lain.
  2. Sarana penyetoran atau penarikan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b digunakan untuk pemindahan dana antar Rekening Giro Pos.
  3. Pemindahan dana dari Rekening Giro Pos ke rekening pada bank dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 5

Rekening Giro Pos

Pasal 19

  1. Pengguna Layanan Pos dapat membuka Rekening Giro Pos.
  2. Pengguna Layanan Pos dalam melakukan pembukaan Rekening Giro Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib memberikan informasi atau data yang benar dan sesuai secara bertanggung jawab.
  3. Penyelenggara Pos wajib menjaga kerahasiaan data pribadi Pengguna Layanan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 20

  1. Pengguna Layanan Pos mengajukan permohonan pembukaan Rekening Giro Pos dengan ketentuan: a. mengisi formulir pendaftaran; dan b. memenuhi persyaratan administratif.
  2. Pengajuan pembukaan Rekening Giro Pos dilakukan oleh Pengguna Layanan Pos dengan mendatangi kantor Penyelenggara Pos atau tempat dan cara lain.
  3. Tata cara pembukaan Rekening Giro Pos diatur lebih lanjut oleh Penyelenggara Pos dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian.

Pasal 21

  1. Penyetoran Rekening Giro Pos dapat dilakukan oleh: a. pemilik Rekening Giro Pos; atau b. bukan Pemilik Rekening Giro Pos.
  2. Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dengan cara tunai atau non-tunai.
  3. Non-tunai sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan melalui pemindahbukuan atau transfer antar Rekening Giro Pos.
  4. Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan melalui kantor Penyelenggara Pos atau tempat dan cara lain.
  5. Penyetoran dana yang melebihi Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) wajib mencantumkan informasi mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana.
  6. Penyelenggara Pos wajib menerapkan prinsip-prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme dan/atau kegiatan ilegal lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22

  1. Penarikan Rekening Giro Pos dapat dilakukan oleh pemilik Rekening Giro Pos atau pihak yang diberi kuasa oleh pemilik Rekening Giro Pos kecuali ditentukan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Pemberian kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dalam bentuk kuasa khusus.
  3. Pihak yang memberi kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib membuat Spesimen Tanda Tangan.

Pasal 23

  1. Penarikan Rekening Giro Pos dapat dilakukan di kantor Penyelenggara Pos atau tempat dan cara lain.
  2. Penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dengan melampirkan kartu identitas pemilik Rekening Giro Pos atau penerima kuasa.

Pasal 24

  1. Pemilik Rekening Giro Pos dapat melakukan pemindahbukuan dana sesuai tata cara yang ditetapkan oleh Penyelenggara Pos dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Setiap pemindahbukuan dana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib melampirkan kartu identitas pemilik Rekening Giro Pos atau penerima kuasa.

Pasal 25

  1. Perubahan Rekening Giro Pos dapat dilakukan apabila terdapat perubahan: a. nomor rekening; b. nama rekening; atau c. perubahan data alamat identitas pemilik Rekening Giro Pos.
  2. Perubahan nama rekening sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b hanya dapat dilakukan oleh pemilik Rekening Giro Pos dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis kepada Penyelenggara Pos.

Pasal 26

  1. Pemilik Rekening Giro Pos dapat menggunakan layanan autodebet.
  2. Mekanisme dan tata cara autodebet sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan oleh Penyelenggara Pos dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 27

  1. Rekening Giro Pos ditutup apabila: a. pemilik Rekening Giro Pos mengajukan permohonan tertulis; b. pemilik Rekening Giro Pos meninggal dunia; c. menteri, pimpinan lembaga, atau pejabat yang berwenang mengajukan permintaan tertulis dalam rangka pengawasan terhadap kegiatan usaha pemilik Rekening Giro Pos dan/atau proses penegakan hukum; dan/atau d. Rekening Giro Pos tidak aktif selama 2 (dua) tahun.
  2. Dalam hal Rekening Giro Pos tidak aktif selama 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. saldo Rekening Giro Pos tetap merupakan hak pemilik Rekening Giro Pos sampai dengan batas waktu kadaluwarsa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Rekening Giro Pos tidak aktif selama 2 (dua) tahun mulai dikenakan biaya administrasi pada awal tahun ketiga; c. Rekening Giro Pos yang tidak aktif sebagaimana dimaksud pada huruf b dapat diaktifkan kembali melalui permintaan tertulis dari pemilik rekening kepada Penyelenggara Pos; dan d. Penyelenggara Pos wajib melakukan pengawasan secara berkala atas Rekening Giro Pos yang tidak aktif.
  3. Penyelenggara Pos menetapkan tata cara dan mekanisme penutupan Rekening Giro Pos.

Pasal 28

Penyelenggara Pos dapat menyediakan Rekening Koran Pos bagi pemilik Rekening Giro Pos.

Pasal 29

  1. Penyelenggara Pos menetapkan besaran imbal hasil layanan Giro Pos.
  2. Besaran imbal hasil layanan Giro Pos ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30

  1. Rekening Giro Pos dikenakan biaya administrasi yang besarannya ditentukan oleh Penyelenggara Pos secara wajar dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Dana yang dikumpulkan oleh Penyelenggara Pos melalui kegiatan Giro Pos wajib disimpan pada rekening Bank Umum dan/atau Bank Umum Syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Besaran dana yang disimpan di Bank sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mempertimbangkan risiko likuiditas Penyelenggara Pos.
  4. Penyimpanan dana Rekening Giro Pos di Bank sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan pada kesempatan pertama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 31

  1. Pemblokiran atau pembukaan blokir terhadap Rekening Giro Pos dapat dilakukan atas: a. permintaan pemilik rekening; dan/atau b. permintaan pihak berwenang;
  2. Pemblokiran atau pembukaan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak dapat diwakilkan.
  3. Pemblokiran atau pembukaan blokir terhadap Rekening Giro Pos dilakukan oleh Penyelenggara Pos. Paragraf 6 Tabungan Pos

Pasal 32

  1. Penyelenggara Pos dapat menyediakan Tabungan Pos.
  2. Tabungan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didasarkan pada ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 33

  1. Penyelenggara Pos dapat memberikan imbal hasil Tabungan Pos kepada Pengguna Layanan Pos.
  2. Imbal hasil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 7

Pemanfaatan Dana

Pasal 34

  1. Dana masyarakat yang terkumpul pada Giro Pos dan/atau Tabungan Pos diinvestasikan oleh Penyelenggara Pos melalui instrumen investasi yang memiliki risiko yang rendah.
  2. Instrumen investasi yang berisiko rendah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi: a. surat utang negara; dan/atau b. surat berharga negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Penyelenggara Pos wajib bertanggung jawab atas pengelolaan dana Giro Pos dan/atau Tabungan Pos yang diinvestasikan.

Pasal 35

Layanan Transaksi Keuangan tidak memberikan pinjaman dan/atau kredit serta tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 8

Ketentuan Lain-Lain

Pasal 36

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Giro Pos dan Tabungan Pos diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat

Penjualan Saham Perusahaan

Pasal 37

Penyelenggara Pos yang menyediakan Layanan Transaksi Keuangan hanya dapat menjual sahamnya melalui bursa efek paling banyak 49% (empat puluh sembilan persen) dari saham yang dicatatkan pada bursa efek di Indonesia.

Bagian Kelima

Manajemen Risiko

Pasal 38

  1. Penyelenggara Pos yang menyediakan Layanan Transaksi Keuangan wajib menerapkan manajemen risiko paling sedikit mencakup: a. pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi; b. kecukupan kebijakan, prosedur manajemen risiko, dan penetapan limit risiko; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
  2. Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan kompleksitas usaha serta kemampuan Penyelenggara Pos.
  3. Pelaksanaan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menjadi bagian dari penilaian tingkat kesehatan Penyelenggara Pos khususnya faktor profil risiko.
  4. Pelaksanaan manajemen risiko Layanan Transaksi Keuangan terkait dengan aktivitas pemindahan dana dilaksanakan sesuai ketentuan Bank Indonesia.

Pasal 39

Selain manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Penyelenggara Pos juga melakukan mitigasi atau manajemen risiko terhadap:

  1. risiko operasional;
  2. risiko likuiditas;
  3. risiko reputasi;
  4. risiko investasi;
  5. risiko hukum;
  6. risiko kepatuhan; dan
  7. risiko strategi

Bagian Keenam

Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos

Pasal 40

  1. Penyelenggara Pos wajib mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana pendanaan terorisme terkait Pengguna Layanan Pos, negara atau area geografis, produk, jasa, transaksi atau jaringan distribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Penyelenggara Pos wajib: a. mendokumentasikan penilaian risiko; b. mempertimbangkan seluruh faktor risiko yang relevan sebelum menetapkan tingkat keseluruhan risiko, serta tingkat dan jenis mitigasi risiko yang memadai untuk diterapkan; c. memutakhirkan penilaian risiko secara berkala; dan d. memiliki mekanisme yang memadai terkait penyediaan informasi penilaian risiko kepada instansi yang berwenang.
  3. Penyelenggara Pos wajib menerapkan Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos untuk mengelola dan memitigasi risiko yang telah diidentifikasi berdasarkan penilaian risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  4. Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos hanya diterapkan kepada Pengguna Layanan Pos pada Layanan Transaksi Keuangan.

Pasal 41

  1. Penyelenggara Pos wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pejabat yang bertanggung jawab atas penerapan Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos, pada kantor pusat dan kantor cabang.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai unit kerja khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan sesuai ketentuan dari lembaga yang berwenang di bidang pelaporan dan analisis transaksi keuangan.

Pasal 42

  1. Penyelenggara Pos wajib memiliki kebijakan dan prosedur untuk mengelola dan memitigasi risiko pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme yang diidentifikasi sesuai penilaian risiko.
  2. Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan sesuai ketentuan dari lembaga yang berwenang di bidang pelaporan dan analisis transaksi keuangan.

Pasal 43

  1. Dalam rangka melakukan hubungan usaha dengan calon Pengguna Layanan Pos terkait Layanan Transaksi Keuangan, Penyelenggara Pos wajib: a. melakukan identifikasi calon Pengguna Layanan Pos untuk mengetahui profil Pengguna Layanan Pos; dan b. melakukan verifikasi atas informasi dan dokumen pendukung calon Pengguna Layanan Pos.
  2. Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dilakukan melalui pengumpulan informasi mengenai Pengguna Layanan Pos dan/atau wakil Pengguna Layanan Pos yang paling sedikit memuat: a. identitas calon Pengguna Layanan Pos atau yang mewakili calon Pengguna Layanan Pos; b. sumber dana; c. hubungan usaha dan tujuan transaksi yang akan dilakukan Pengguna Layanan Pos atau wakil Pengguna Layanan Pos dengan Penyelenggara Pos; d. informasi pihak-pihak yang ditunjuk untuk bertindak atas nama korporasi dalam melakukan hubungan usaha dengan Penyelenggara Pos; e. identitas pemilik korporasi, direksi, pendiri, pengurus, pembina, atau pihak lain yang berwenang mengendalikan korporasi; f. identitas pemilik manfaat (beneficial owner) atas korporasi; dan g. informasi lain untuk mengetahui profil calon Pengguna Layanan Pos atau wakil Pengguna Layanan Pos, termasuk informasi yang diperintahkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Dalam hal Penyelenggara Pos meragukan kebenaran informasi terkait pemilik manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf f, Penyelenggara Pos wajib melakukan upaya lain dalam rangka memperoleh informasi.

Pasal 44

Penyelenggara Pos wajib memiliki sistem manajemen risiko untuk menentukan apakah calon Pengguna Layanan Pos termasuk kriteria berisiko tinggi.

Pasal 45

Ketentuan lebih lanjut mengenai Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos untuk Layanan Transaksi Keuangan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dari lembaga yang berwenang di bidang pelaporan dan analisis transaksi keuangan.

Bagian Ketujuh

Penatausahaan Dokumen

Pasal 46

  1. Penyelenggara Pos wajib melakukan penatausahaan dokumen terkait dengan data Pengguna Layanan Pos dalam jangka waktu paling singkat 10 (sepuluh) tahun sejak: a. berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan Pengguna Layanan Pos; atau b. ditemukannya ketidaksesuaian transaksi dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha.
  2. Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit meliputi: a. transaksi Pengguna Layanan Pos, baik transaksi domestik maupun transaksi internasional; b. dokumen yang diperoleh Penyelenggara Pos pada saat penerapan Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos; c. bukti hubungan usaha antara Penyelenggara Pos dengan Pengguna Layanan Pos; dan d. kegiatan analisis yang telah dilakukan oleh Penyelenggara Pos.
  3. Penyelenggara Pos wajib memenuhi permintaan informasi dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dari lembaga yang berwenang dan/atau instansi penegak hukum paling lambat 3 (tiga) hari sejak Penyelenggara Pos menerima permintaan dari lembaga yang berwenang dan/atau instansi penegak hukum.

Bagian Kedelapan

Sistem Informasi dan Pelaporan

Pasal 47

Penyelenggara Pos wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Layanan Pos.

Pasal 48

  1. Penyelenggara Pos wajib memelihara database negara berisiko tinggi daftar terduga teroris dan organisasi teroris, dan daftar target financial sanction lainnya yang dipublikasikan oleh Pemerintah atau organisasi internasional.
  2. Penyelenggara Pos wajib melakukan pelaporan terkait adanya kesamaan identitas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dengan identitas Pengguna Layanan Pos sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 49

  1. Penyelenggara Pos wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan, laporan transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme, laporan transaksi keuangan tunai dan/atau transaksi lain kepada lembaga yang berwenang di bidang pelaporan dan analisis transaksi keuangan.
  2. Ketentuan teknis mengenai penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dari lembaga yang berwenang di bidang pelaporan dan analisis transaksi keuangan.

Pasal 50

Ketentuan mengenai penerapan, pengawasan, dan pengenaan sanksi terhadap penerapan Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos dan mitigasi risiko pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dari lembaga yang berwenang di bidang pelaporan dan analisis transaksi keuangan.

Bagian Kesembilan

Perlindungan Konsumen

Pasal 51

  1. Penyelenggara Pos wajib menjaga keamanan dana pada Wesel Pos, Giro Pos, aktivitas Transfer Dana, dan Tabungan Pos sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Penyelenggara Pos wajib bertanggungjawab atas kerugian Pengguna Layanan Pos yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian dari pengurus, pegawai, dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan Penyelenggara Pos.

Pasal 52

  1. Penyelenggara Pos wajib menjaga kerahasiaan dan keamanan data dan/atau informasi mengenai Pengguna Layanan Pos.
  2. Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 53

  1. Penyelenggara Pos wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen.
  2. Mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dikenakan biaya.
  3. Penyelenggara Pos wajib memiliki unit kerja dan/atau fungsi untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan oleh Pengguna Layanan Pos.
  4. Penyelenggara Pos wajib menindaklanjuti penyelesaian pengaduan paling lambat 20 (dua puluh) Hari setelah tanggal pengaduan.
  5. Dalam hal pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 tidak dapat diselesaikan, Pengguna Layanan Pos dapat mengajukan penyelesaian pengaduan melalui pengadilan dan/atau luar pengadilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  6. Pelaksanaan pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen terhadap Layanan Transaksi Keuangan yang terkait dengan aktivitas pemindahan dana dilaksanakan sesuai peraturan Bank Indonesia.

Pasal 54

Penyelenggara Pos dalam melaksanakan Layanan Transaksi Keuangan wajib memiliki SOP dan dipublikasikan kepada masyarakat.

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 55

  1. Pemerintah menjamin terselenggaranya LPU di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga memungkinan masyarakat dapat mengirim dan/atau menerima Kiriman Pos Universal.
  2. Kiriman Pos Universal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri atas: a. surat, kartu pos, Barang Cetakan, dan bungkusan kecil sampai dengan 2 (dua) kilogram; b. sekogram sampai dengan 7 (tujuh) kilogram; c. Barang Cetakan yang dikirim dalam kantong khusus yang ditujukan untuk penerima dengan alamat yang sama dengan berat sampai dengan 30 (tiga puluh) kilogram (M-bag); dan d. paket pos dengan berat sampai dengan 20 (dua puluh) kilogram.

Pasal 56

  1. LPU merupakan kewajiban pelayanan publik yang pelaksanaannya dan penganggarannya berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Biaya atas kewajiban pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan subsidi operasional yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
  3. Subsidi operasional sebagaimana dimaksud pada ayat 2 merupakan subsidi operasional penyelenggaraan LPU.
  4. Tata cara penyediaan subsidi operasional penyelenggaraan LPU dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua

Penyelenggaraan Layanan Pos Universal

Paragraf 1

Penetapan Penyelenggara Layanan Pos Universal

Pasal 57

  1. Menteri menugaskan Penyelenggara Pos untuk menyelenggarakan LPU.
  2. Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 58

  1. Penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat 1, berdasarkan pada kriteria: a. memiliki pengalaman menyelenggarakan layanan Pos selama 25 (dua puluh lima) tahun; b. memiliki dan/atau menguasai jaringan Pos di wilayah penyelenggaraan LPU dan/atau di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. memiliki kemampuan dan sumber daya untuk menyampaikan kiriman Pos ke seluruh dunia; d. memiliki sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang penyelenggaraan Pos internasional; e. memiliki rencana kerja dan anggaran Penyelenggaraan Pos untuk LPU paling singkat 5 (lima) tahun; f. memiliki kemampuan untuk menjaga standar minimum pelayanan LPU; dan g. memiliki kemampuan untuk melaksanakan ketentuan akta-akta Perhimpunan Pos Sedunia yang telah disahkan atau diratifikasi oleh Pemerintah.
  2. Direktur Jenderal melakukan penilaian dan evaluasi terhadap Penyelenggara Pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat 1.

Paragraf 2

Kewajiban dan Hak Penyelenggara Layanan Pos Universal

Pasal 59

Penyelenggara Pos yang ditugaskan sebagai Penyelenggara LPU wajib:

  1. menyelenggarakan LPU di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. menjaga keberlangsungan penyelenggaraan LPU;
  3. mematuhi perjanjian kerja dengan itikad baik;
  4. menerapkan tarif atau biaya pengiriman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  5. memenuhi standar minimum pelayanan yang ditetapkan oleh Menteri;
  6. menjalankan penugasan sebagai designated operator dalam kerangka perhimpunan Pos sedunia termasuk menjalankan kewajiban yang melekat didalamnya;
  7. melakukan pengelolaan terhadap prangko;
  8. memenuhi ketentuan perundang-undangan terkait dengan pengiriman barang;
  9. melaporkan penyelenggaraan LPU kepada Menteri;
  10. membuat laporan pendapatan dan biaya penyelenggaraan LPU;
  11. bertanggungjawab secara formil dan materiel terhadap penyelenggaraan LPU;
  12. menyimpan dokumentasi penyelenggaraan LPU paling singkat 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal dokumen diterbitkan untuk dokumen fisik (hard copy);
  13. menyimpan dokumentasi penyelenggaraan LPU melalui arsip data komputer (soft copy); dan
  14. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undanga

Pasal 60

Penyelenggara LPU dalam melaksanakan penugasan LPU memiliki hak:

  1. menerima manfaat yang timbul dari pelaksanaan akta- akta Perhimpunan Pos Sedunia; dan
  2. menerima kompensasi atas biaya penyelenggaraan LPU sesuai dengan ketersediaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan

Bagian Ketiga

Wilayah dan Jumlah Layanan Pos Universal

Pasal 61

  1. Wilayah LPU meliputi: a. seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan b. wilayah layanan Kantor LPU.
  2. Wilayah layanan Kantor LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b merupakan Kantor LPU yang jumlahnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
  3. Kantor LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan berdasarkan kondisi wilayah, dengan mempertimbangkan: a. merupakan wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar; b. merupakan bagian dari rencana strategis dan rencana kerja Pemerintah; dan/atau c. data sebaran Penyelanggara Pos seluruh Indonesia;
  4. Kantor LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan berdasarkan kriteria: a. lokasi Kantor LPU berada di luar ibu kota provinsi dan ibu kota kabupaten/kota; b. kantor Pos mengalami kerugian keuangan yang didasarkan perhitungan tahun sebelumnya; dan c. berada di wilayah yang tidak layak secara usaha yang ditandai dengan tidak ada Penyelenggara Pos lainnya di kecamatan tersebut.
  5. Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat 4 huruf a dikecualikan dalam hal Kantor LPU terletak pada wilayah kabupaten/kota yang tidak layak secara usaha.

Pasal 62

Jumlah Kantor LPU yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat 2 mempertimbangkan jumlah atau ketersediaan dana subsidi LPU.

Bagian Keempat

Metode dan Formula Subsidi Layanan Pos Universal

Paragraf 1

Metode Perhitungan Subsidi Operasional

Penyelenggaraan Layanan Pos Universal

Pasal 63

  1. Subsidi operasional penyelenggaraan LPU merupakan selisih antara biaya operasional dikurangi pendapatan di Kantor LPU.
  2. Subsidi operasional Kantor LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan kepada Kantor LPU yang ditetapkan oleh Menteri.
  3. Formula, metode, tata cara perhitungan kebutuhan dana, dan teknis perhitungan dana subsidi operasional penyelenggaraan LPU ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 64

  1. Pelaksanaan LPU diatur dalam perjanjian kerja LPU antara kuasa pengguna anggaran dengan direktur utama Penyelenggara LPU.
  2. Perjanjian kerja LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditandatangani setelah diterbitkannya Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran LPU yang telah disahkan oleh Kementerian Keuangan.
  3. Perjanjian kerja LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit memuat: a. jumlah Kantor LPU; b. besaran subsidi LPU; c. cara pembayaran subsidi LPU; d. hak dan kewajiban; e. tolok ukur; f. jangka waktu pelaksanaan; g. sanksi; dan h. penyelesaian perselisihan.

Paragraf 2

Tata Cara Perhitungan Subsidi Operasional Penyelenggaraan

Layanan Pos Universal

Pasal 65

  1. Direktur Jenderal membentuk tim untuk melakukan evaluasi atas usulan kebutuhan dana subsidi operasional Penyelenggaraan LPU.
  2. Tim melakukan evaluasi atas usulan kebutuhan dana subsidi operasional penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1.

Paragraf 3

Tolok Ukur Subsidi

Pasal 66

  1. Perhitungan subsidi operasional Penyelenggaraan LPU untuk Kantor LPU yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) memperhatikan aspek-aspek diantaranya: a. aspek operasional; b. aspek sarana dan prasarana; dan c. aspek keuanga
  2. Aspek operasional sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a meliputi: a. penyediaan penjualan Benda Pos yang cukup; b. pelayanan 6 (enam) Hari dalam seminggu atau 40 (empat puluh) jam per minggu; c. penerimaan, pemrosesan, pengiriman, dan pengantaran: 1. surat, kartu Pos, Barang Cetakan, dan bungkusan kecil sampai dengan 2 (dua) kilogram; 2. sekogram sampai dengan 7 (tujuh) kilogram; 3. Barang Cetakan yang dikirim dalam kantong khusus yang ditujukan untuk penerima dengan alamat yang sama dengan berat sampai dengan 30 (tiga puluh) kilogram (M-bag); dan 4. paket Pos dengan berat sampai dengan 20 (dua puluh) kilogra d. pengiriman ke kantor penghubung/pemeriksa dilakukan 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) kali seminggu; e. kerja sama dengan perangkat Pemerintah Daerah setempat, koperasi, dan/atau Badan Usaha Milik Desa secara tertulis untuk penyampaian kiriman di luar batas antar; dan f. penyampaian kiriman sesuai dengan standar pelayanan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undanga
  3. Aspek sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b meliputi penyediaan: a. sarana, berupa kendaraan minimal kendaraan bermotor roda dua; b. prasarana, berupa bangunan kantor Pos yang terawat dan dilengkapi dengan: 1. ruangan dan kursi tunggu, loket, papan nama kantor, papan pengumuman pelayanan, meja dan lemari sortir (menyatu atau terpisah), meja tulis pelanggan, dan alat pemadam api; 2. cap tanggal, timbangan surat, dan timbangan paket; 3. perangkat komputer atau alat tulis kantor; 4. tempat penyimpanan Benda Pos dan surat berharga lainnya dapat berupa lemari besi, brankas, dan/atau ruang khusus; dan 5. alat komunikasi yang terhubung secara online sepanjang telah terjangkau jaringan telekomunikas
  4. Aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c untuk subsidi pada setiap Kantor LPU yaitu: a. komponen pendapatan yang terdiri atas pendapatan dari: 1. produk kiriman Pos universal; 2. produk Layanan Pos Komersial; dan 3. produk Layanan Transaksi Keuangan b. komponen biaya pada Kantor LPU merupakan biaya yang terjadi di Kantor LPU; dan c. komponen biaya yang diperhitungkan sebagai beban Kantor LPU ditetapkan dalam Keputusan Menter
  5. Penyelenggara LPU wajib melakukan pemisahan pembukuan atas dana subsidi operasional Penyelenggaraan LPU.

Paragraf 4

Verifikasi Penyelenggaraan Layanan Pos Universal

Pasal 67

  1. Direktur Jenderal dalam melaksanakan perjanjian kerja LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat 1 membentuk tim untuk melakukan: a. monitoring atas pelaksanaan LPU; dan b. Verifikasi atas pelaksanaan LPU.
  2. Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a merupakan kegiatan pemantauan dan/atau pengujian atas kelayakan aspek-aspek penyelenggaraan LPU.
  3. Monitoring dan Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan berdasarkan SOP yang paling sedikit memuat: a. ketentuan umum; b. objek yang diverifikasi; c. prosedur pelaksanaan Verifikasi; d. prosedur pelaksanaan monitoring penyelenggaraan LPU; dan e. pemanfaatan sistem informasi.
  4. Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dilaksanakan terhadap Penyelenggaraan LPU tahun berjalan dan usulan Kantor LPU.
  5. Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b berupa Verifikasi Lapangan dan Verifikasi Dokumen.
  6. Tim sebagaimana dimaksud pada ayat 1 melaksanakan Verifikasi atas realisasi subsidi operasional yang bersifat prognosis pada tahun N+1.
  7. Hasil Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b hanya bersifat administratif dan tidak membebaskan Penyelenggara Pos untuk diaudit oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  8. Biaya pelaksanaan monitoring dan Verifikasi dibebankan kepada anggaran Direktorat Jenderal.
  9. SOP sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal.

Pasal 68

  1. Penyelenggara LPU membentuk tim internal untuk melakukan pengelolaan dan pengawasan atas penyelenggaraan dana subsidi sebagai bentuk asersi manajemen.
  2. Hasil laporan tim internal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan kepada Direktur Jenderal sebelum dimulainya pelaksanaan Verifikasi setiap triwulan.

Bagian Kelima

Pencairan Subsidi Layanan Pos Universal

Pasal 69

  1. Kuasa pengguna anggaran penyelenggaraan LPU ditunjuk oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Kuasa pengguna anggaran berwenang untuk menetapkan: a. pejabat yang diberi kewenangan untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara; b. pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran; c. bendahara pengeluaran; d. pembantu kuasa pengguna anggaran; e. staf pengelola keuangan/pembantu bendahara pengeluaran; dan f. unit akuntansi dan pelaporan keuangan kuasa pengguna anggaran.
  3. Kuasa pengguna anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menyelenggarakan akuntansi dan pelaporan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan bendahara umum negara.

Pasal 70

  1. Pencairan dana subsidi operasional penyelenggaraan LPU dilakukan setiap triwulan.
  2. Perhitungan dan pencairan dana subsidi operasional penyelenggaraan LPU pada bulan November dan Desember bersifat prognosis.
  3. Tim Verifikasi melakukan Verifikasi atas realisasi perhitungan subsidi operasional penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 2.
  4. Dalam hal hasil pemeriksaan atau audit lembaga berwenang menyatakan bahwa Pemerintah telah membayar dana subsidi operasional penyelenggaraan LPU lebih besar kepada Penyelenggara LPU, Penyelenggara LPU berkewajiban mengembalikan kelebihan pembayaran dimaksud ke kas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 71

  1. Direktur utama Penyelenggara LPU mengajukan tagihan pembayaran subsidi LPU kepada Kuasa pengguna anggaran.
  2. Berdasarkan tagihan Penyelenggara LPU, Kuasa pengguna anggaran melakukan penelitian terhadap kelengkapan dokumen tagihan penyelenggaraan LPU.

Pasal 72

  1. Berdasarkan tagihan Penyelenggara Pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat 1, pejabat pembuat komitmen membuat surat perintah pembayaran untuk disampaikan kepada pejabat penandatangan surat perintah membayar dengan melampirkan: a. berita acara Verifikasi; dan b. kuitansi pembayaran.
  2. Berdasarkan surat perintah pembayaran yang diajukan oleh pejabat pembuat komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pejabat penandatangan surat perintah membayar melakukan pengujian sebagai berikut: a. pemeriksaan keabsahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran atau dokumen pelaksanaan anggaran lainnya; b. pemeriksaan kelengkapan dokumen tagihan pembayaran; dan c. mencocokkan tanda tangan pejabat pembuat komitmen dengan spesimen yang diterima.
  3. Berdasarkan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat 2 pejabat penandatangan surat perintah membayar membuat, menandatangani, dan menyampaikan surat perintah membayar ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan dengan melampirkan: a. surat pernyataan tanggung jawab belanja dari kuasa pengguna anggaran/pejabat pembuat komitmen; b. surat pernyataan telah diverifikasi dari kuasa pengguna anggaran; dan c. surat pernyataan tanggung jawab mutlak dari kuasa pengguna anggaran.

Pasal 73

Penyelenggara LPU bertanggung jawab secara formal dan materiel atas pengelolaan dan penggunaan subsidi operasional LPU.

Bagian Keenam

Tarif Layanan Pos Universal

Paragraf 1

Penetapan Tarif Layanan Pos Universal

Pasal 74

  1. Tarif LPU ditetapkan berdasarkan formula yang memperhitungkan: a. biaya operasional penyelenggaraan LPU; b. proyeksi peningkatan biaya dalam rangka peningkatan kualitas layanan; c. proyeksi pertumbuhan produksi; d. daya beli masyarakat; dan e. ketentuan dalam akta Perhimpunan Pos Sedunia.
  2. Menteri menetapkan tarif LPU terhadap Kiriman Pos Universal.
  3. Penetapan tarif LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 2 berdasarkan hasil verifikasi dan evaluasi oleh Direktur Jenderal.
  4. Direktur Jenderal membentuk tim untuk melakukan verifikasi dan evaluasi atas tarif LPU.
  5. Evaluasi tarif LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
  6. Besaran tarif LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 75

  1. Penyesuaian besaran tarif LPU dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dengan mempertimbangkan faktor internal dan eksternal.
  2. Faktor internal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dalam rangka perbaikan kualitas layanan.
  3. Faktor eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 termasuk namun tidak terbatas pada: a. inflasi; b. kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM); c. kenaikan tarif dasar listrik; d. pertumbuhan ekonomi nasional; e. kenaikan kurs dollar;dan/atau f. perubahan pada ketentuan dalam akta Perhimpunan Pos Sedunia.

Paragraf 2

Pengawasan

Pasal 76

Direktur Jenderal melakukan pengawasan terhadap pemberlakuan tarif LPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh

Standar Pelayanan Minimum

Paragraf 1

Standar Pelayanan

Pasal 77

Standar pelayanan untuk LPU terdiri atas:

  1. ketersediaan akses layanan;
  2. keteraturan layanan;
  3. kompetensi sumber daya manusia;
  4. kecepatan dan keandalan;
  5. keamanan dan kerahasiaan;
  6. penanganan pengaduan, saran, dan masukan;
  7. kepuasan pelanggan;
  8. tarif layanan; dan
  9. ganti rug

Paragraf 2

Ketersediaan Akses Layanan

Pasal 78

  1. Penyelenggara LPU wajib menyediakan LPU yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Setiap Kantor LPU wajib menyediakan: a. paling sedikit 1 (satu) loket pengiriman; b. memiliki fasilitas tambahan pelayanan berupa paling sedikit: 1. 1 (satu) bis surat; dan/atau 2. kotak Pos sesuai kebutuhan masyarakat.
  3. Penyelenggara LPU dapat memperluas jangkauan layanan LPU melalui pola kemitraan dan/atau Pos bergerak berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
  4. Pos bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat 3 merupakan titik pelayanan pengiriman dan pengantaran kiriman Pos universal dengan ketentuan sebagai berikut: a. paling sedikit memiliki 2 (dua) titik pelayanan pada 1 (satu) kecamatan; dan b. menggunakan moda transportasi sesuai kebutuhan dan kondisi setempat.
  5. Pola antaran LPU untuk Kantor LPU paling sedikit 1 (satu) unit pelayanan antaran Pos, dengan jangkauan pelayanan sebagai berikut: a. untuk Area Dalam Batas Antar (ADBA), kiriman Pos universal diserahkan kepada penerima di titik antar sesuai alamat tujuan kiriman; dan/atau b. untuk Area Luar Batas Antar (ALBA), kiriman Pos universal diserahkan kepada penerima yang dilayani pengantaran kiriman Pos universal tidak langsung oleh pengantar dan dapat melalui pihak ketiga.
  6. Informasi Area Dalam Batas Antar (ADBA) dan Area Luar Batas Antar (ALBA) sebagaimana dimaksud pada ayat 5, dibuat dalam daftar yang memuat rincian nama wilayah desa/kelurahan lengkap dengan kode Pos dan dipasang pada papan pengumuman di Kantor LPU untuk diketahui oleh masyarakat.

Pasal 79

Kantor LPU harus memperhatikan fasilitas yang memberikan kemudahan akses bagi masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 80

  1. Penyelenggara LPU wajib menyediakan fasilitas operasi berupa pengolahan kiriman Pos universal yang meliputi pengumpulan, pemrosesan, pengangkutan, dan/atau pengantaran kiriman untuk menjamin efektivitas dan efisiensi proses operasi.
  2. Fasilitas operasi berupa pengolahan kiriman Pos universal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berfungsi sebagai pusat penyortiran, pengonsolidasian, pertukaran, dan/atau penerusan kiriman Pos universal.
  3. Penanganan kiriman Pos universal mempertimbangkan volume kiriman dan ketersediaan moda angkutan setempat.
  4. Dalam melaksanakan fungsi pertukaran Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Penyelenggara LPU wajib menyediakan kantor tukar Pos laut dan kantor tukar Pos udara.

Paragraf 3

Keteraturan Layanan

Pasal 81

Standar keteraturan layanan sebagaimana dimaksud dalam dengan memberikan jaminan operasi pelayanan secara teratur dan berkesinambungan.

Pasal 82

  1. Standar keteraturan pelayanan untuk pelayanan loket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat 2 huruf a wajib dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. jam pelayanan loket Kantor LPU ditetapkan 40 (empat puluh) jam selama 6 (enam) Hari; b. jadwal pelayanan loket Kantor LPU ditetapkan sebagai berikut: 1. hari Senin sampai dengan hari Kamis: pukul 08.00- 15.00; 2. hari Jum’at: pukul 08.00 – 11.30 dan 13.00 – 15.00 3. hari Sabtu: pukul 08.00–14.30; dan 4. hari libur dan/atau hari yang diliburkan, tidak ada pelayanan. c. jadwal pelayanan loket Kantor LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat dengan tidak mengurangi jumlah jam kerja pelayanan dalam 6 (enam) Hari; dan d. jadwal pelayanan loket diumumkan kepada masyarakat dengan mencantumkan jadwal pelayanan loket melalui papan pengumuman di Kantor LPU.
  2. Standar keteraturan pelayanan untuk pelayanan Pos bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat 3 dilaksanakan dengan frekuensi pelayanan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) minggu di setiap lokasi pelayanan.
  3. Standar keteraturan pelayanan untuk fasilitas tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat 2 huruf b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. bis surat melayani pengiriman surat, kartu Pos, dan barang cetakan LPU selama 24 (dua puluh empat) jam dalam 1 (satu) hari, dengan frekuensi pengambilan atau pengosongan kiriman dari bis surat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) hari; dan b. kotak Pos melayani pengambilan kiriman Pos universal selama 24 (dua puluh empat) jam dalam 1 (satu) hari.
  4. Standar keteraturan pelayanan untuk pelayanan antaran Pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat 5, dilaksanakan dengan standar pelayanan sebagai berikut: a. untuk Area Dalam Batas Antar (ADBA), kiriman Pos universal diantar paling sedikit 1 (satu) kali antaran dalam 1 (satu) hari; dan b. untuk Area Luar Batas Antar (ALBA), kiriman Pos universal diantar sesuai dengan jadwal kerja pelayanan Pos bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat 2.
  5. Pendistribusian kiriman Pos universal dari Kantor LPU asal atau pusat pengolahan kiriman Pos ke Kantor LPU tujuan melalui pusat pengolahan kiriman Pos dilaksanakan dengan frekuensi pengangkutan kiriman paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) hari.
  6. Dalam hal terdapat keterbatasan moda angkutan yang dipergunakan, pendistribusian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan dengan frekuensi pengangkutan kiriman paling sedikit 1 (satu) kali dalam beberapa hari.

Paragraf 4

Kompetensi Sumber Daya Manusia

Pasal 83

  1. Dalam menyelenggarakan LPU, Penyelenggara LPU memanfaatkan sumber daya manusia yang handal dan profesional sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang keahlian Pos untuk penanganan LPU.
  2. Pemenuhan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang keahlian Pos untuk penanganan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibuktikan dengan sertifikat keahlian Pos yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).
  3. Pemenuhan sumber daya manusia bersertifikasi keahlian Pos dilaksanakan secara bertahap oleh Penyelenggara LPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
  4. Pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang keahlian Pos untuk penanganan LPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 84

  1. Setiap Kantor LPU dilayani oleh paling sedikit 2 (dua) orang.
  2. Setiap unit pelayanan Pos bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat 3, harus dilayani oleh paling sedikit 1 (satu) orang.
  3. Setiap fasiltas operasi penanganan kiriman dioperasikan oleh sumber daya manusia sesuai kebutuhan dengan memperhatikan beban volume kiriman, jadwal pendistribusian, dan ketersediaan moda angkutan yang dipergunakan.

Paragraf 5

Kecepatan dan Kehandalan

Pasal 85

  1. Standar kecepatan dan kehandalan layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf d wajib dilaksanakan oleh Penyelenggara LPU berupa pemenuhan standar waktu tempuh kiriman Pos universal untuk setiap jenis kiriman Pos universal.
  2. Standar waktu tempuh kiriman Pos universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penerimaan kiriman Pos universal di Kantor LPU asal sampai dengan diterimanya di Kantor LPU tujuan dengan memperhatikan jadwal pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf b.
  3. Standar waktu tempuh kiriman Pos universal sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dinyatakan dalam satuan hari, dirinci setiap jenis LPU dan setiap zona tujuan kiriman Pos universa
  4. Untuk meningkatkan pelayanan prima, Penyelenggara LPU memanfaatkan sistem pelacakan kiriman Pos universal dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undanga
  5. Standar waktu tempuh kiriman Pos universal untuk setiap jenis LPU dan setiap zona tujuan kiriman Pos universal ditetapkan oleh Menteri

Paragraf 6

Keamanan dan Kerahasiaan

Pasal 86

Standar keamanan dan kerahasiaan untuk kiriman LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf e, wajib dipenuhi Penyelenggara LPU dengan menyediakan dan menerapkan sistem pengamanan terhadap:

  1. akses layanan Pos dan fasilitas operasi pengolahan kiriman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat 2;
  2. keutuhan kiriman;
  3. sarana dan prasarana pendeteksi kiriman;
  4. rahasia surat; dan
  5. data pribadi penggun

Paragraf 7

Penanganan Pengaduan, Saran, dan Masukan

Pasal 87

  1. Untuk memenuhi standar penanganan pengaduan, saran, dan masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf f, Penyelenggara LPU wajib menyediakan fungsi pelayanan pelanggan.
  2. Fungsi pelayanan pelanggan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus dilengkapi dengan sarana komunikasi yang memadai dan sesuai kebutuhan, dapat berupa: a. pusat layanan pelanggan (call center); dan/atau b. layanan lain berupa short message service (SMS), surat elektronik (e-mail), situs web (website), dan/atau media sosial.
  3. Untuk menjamin penanganan pengaduan, saran, dan masukan secara cepat dengan standar, Penyelenggara LPU harus: a. merespon pengaduan, saran, dan masukan paling lambat 2 (dua) jam sejak diterimanya pengaduan, saran, dan masukan; b. melakukan investigasi paling lambat 1 (satu) x 24 (dua puluh empat) jam sejak diterimanya pengaduan; dan c. menyelesaikan penanganan pengaduan, saran, dan masukan paling lambat 3 (tiga) x 24 (dua puluh empat) jam sejak diterimanya pengaduan, saran, dan masukan.
  4. Penyelengara LPU harus merespon pengaduan sesuai dengan sarana komunikasi yang digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat 2.

Paragraf 8

Kepuasan Pelanggan

Pasal 88

  1. Penyelenggara LPU menyampaikan hasil survei pengukuran kepuasan pelanggan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
  2. Survei kepuasan pelanggan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dapat dilakukan secara mandiri dan/atau melalui kerja sama dengan lembaga survei independen yang berkompeten.
  3. Hasil survei kepuasan pelanggan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilaporkan kepada Direktur Jenderal dan dipublikasikan melalui situs web (website) atau media sosial penyelenggara LPU.

Paragraf 9

Standar Tarif

Pasal 89

  1. Standar tarif LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf h mengikuti ketentuan tarif LPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Informasi tentang tarif LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib disampaikan secara terbuka kepada masyarakat melalui media informasi dan komunikasi yang disediakan oleh Penyelenggara LPU, diantaranya melalui: a. situs web (website); b. media tertulis pada loket pelayanan LPU; dan/atau c. media komunikasi dan informasi lainnya.

Paragraf 10

Pelayanan Keadaan Darurat

Pasal 90

  1. Penyelenggara LPU wajib memiliki dan melaksanakan sistem pengamanan khusus untuk penanganan LPU dan aset dalam keadaan darurat.
  2. Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa keadaan yang diakibatkan oleh bencana alam maupun non-alam.
  3. Pengamanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertujuan untuk menjaga keselamatan jiwa, harta benda, dan kontinuitas pelayanan.
  4. Untuk menjamin kontinuitas penyelenggaraan pelayanan LPU dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Penyelenggara LPU wajib menyelenggarakan pelayanan darurat.
  5. Standar pelayanan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat 3 meliputi: a. akses layanan menggunakan sarana dan prasarana pelayanan darurat; b. jadwal pelayanan dilaksanakan sesuai kondisi darurat; c. dapat menggunakan tenaga sumber daya manusia bantuan; d. standar waktu tempuh kiriman dilaksanakan mengikuti kondisi darurat; e. tetap menjaga keamanan dan kerahasiaan kiriman; f. tetap menerima pelayanan pengaduan, saran, dan masukan; g. mengumumkan kepada masyarakat tentang pelayanan dalam kondisi darurat; dan h. tetap melaksanakan tarif LPU yang ditetapkan Pemerintah.
  6. Penyelenggara LPU wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal apabila Kantor LPU berhenti beroperasi karena keadaan darurat.

Pasal 91

  1. Dalam menjalankan standar pelayanan minimum penyelenggaraan LPU, Penyelenggara LPU wajib menetapkan SOP.
  2. SOP sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mencakup seluruh operasi pelayanan. Paragraf 11 Ganti Rugi

Pasal 92

  1. Penyelenggara LPU wajib memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada Pengguna Layanan Pos akibat keterlambatan, kehilangan, ketidaksesuaian layanan, dan/atau kerusakan kiriman Pos universal yang diakibatkan oleh pelaksanaan layanan LPU.
  2. Kompensasi atau ganti rugi terhadap kehilangan dan/atau kerusakan barang kiriman Pos universal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan sesuai dengan kesepakatan antara Pengguna Layanan Pos dan Penyelenggara LPU sebelum layanan digunakan oleh Pengguna Layanan Pos.
  3. Keterlambatan, kehilangan, ketidaksesuaian layanan, dan/atau kerusakan yang diakibatkan oleh pelaksanaan layanan diberikan ganti rugi paling banyak 10 (sepuluh) kali biaya pengiriman, kecuali kiriman yang diasuransikan.
  4. Kompensasi terhadap keterlambatan, kehilangan, dan/atau kerusakan barang kiriman luar negeri diberikan sesuai ketentuan akta-akta Perhimpunan Pos Sedunia.
  5. Pengguna Layanan Pos mengajukan klaim kepada Penyelenggara LPU sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara LPU disertai dengan bukti yang jelas dan lengkap.
  6. Penyelenggara LPU tidak berkewajiban memberi ganti rugi apabila keterlambatan, kehilangan, dan/atau kerusakan terjadi akibat force majeur dan/atau akibat dari kesalahan atau kelalaian Pengguna Layanan Pos.

Bagian Kedelapan

Pengawasan Pelaksanaan Layanan Pos Universal

Pasal 93

Terhadap penyelenggaraan LPU dilakukan pemeriksaan oleh badan atau instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kesatu

Kontribusi Penyelenggaraan Layanan Pos Universal

Pasal 94

Setiap Penyelenggara Pos wajib membayar Kontribusi Penyelenggaraan LPU.

Pasal 95

  1. Besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU dipungut sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari keuntungan bersih Penyelenggaraan Pos setelah dikurangi pajak untuk seluruh jenis layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Keuntungan bersih Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan seluruh pendapatan yang diperoleh dari layanan Penyelenggaraan Pos setelah dikurangi dengan biaya yang terkait dengan Penyelenggaraan Pos.
  3. Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikenakan juga terhadap subsidi operasional yang diperoleh oleh Penyelenggara Pos yang mendapatkan penugasan sebagai Penyelenggara LPU.

Pasal 96

  1. Penyelenggara Pos wajib melaksanakan pembayaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU setiap tahun, paling lambat tanggal 31 Mei tahun berikutnya.
  2. Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dilakukan per triwulan atau per semester.

Bagian Kedua

Tata Cara Perhitungan Besaran Kontribusi Penyelenggaraan

Layanan Pos Universal

Pasal 97

  1. Penetapan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU oleh Penyelenggara Pos dilaksanakan berdasarkan perhitungan sendiri dengan mengacu pada laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik.
  2. Dalam hal laporan keuangan Penyelenggara Pos tidak diaudit oleh kantor akuntan publik, perhitungan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengacu pada laporan keuangan yang ditandatangani oleh direktur utama atau pejabat perusahaan yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 98

  1. Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat 1 belum selesai diaudit oleh kantor akuntan publik sampai dengan jatuh tempo pembayaran, pembayaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU dihitung berdasarkan laporan keuangan yang belum diaudit.
  2. Dalam hal Kontribusi Penyelenggaraan LPU yang dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 kurang dari besaran yang dihitung berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit, Penyelenggara Pos wajib membayar kekurangan bayar pokok dimaksud dan dikenakan denda keterlambatan pembayaran.
  3. Dalam hal Kontribusi Penyelenggaraan LPU yang dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 lebih besar dari yang seharusnya dibayar berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit, kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran dimuka atas Kontribusi Penyelenggaraan LPU tahun berikutnya.

Pasal 99

  1. Setiap Penyelenggara Pos yang dalam laporan keuangannya terdapat pendapatan yang bukan berasal dari Penyelenggaraan Pos wajib memisahkan seluruh pendapatan dan biaya yang terkait dengan Penyelenggaraan Pos dalam laporan perhitungan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU.
  2. Pemisahan seluruh pendapatan dan biaya yang terkait dengan Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara proporsional dengan merujuk pada komposisi pendapatan dan biaya yang tercantum dalam laporan keuangan.
  3. Besaran pajak yang menjadi pengurang keuntungan bersih sebagai dasar perhitungan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU ditetapkan secara proporsional dengan merujuk pada besaran pajak yang tercantum dalam laporan keuangan.
  4. Perhitungan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 dihitung sesuai dengan cara perhitungan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
  5. Dalam hal Penyelenggara Pos tidak dapat memisahkan seluruh pendapatan dan biaya yang terkait dengan Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1, perhitungan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU dihitung dari seluruh pendapatan dan biaya yang tertuang dalam laporan keuangan.

Bagian Ketiga

Penyetoran Kontribusi Penyelenggaraan Layanan Pos Universal

Pasal 100

Seluruh Penerimaan Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 disetor langsung ke kas negara melalui rekening Bendahara Penerima pada Bank Pemerintah.

Pasal 101

Bendahara Penerima melaporkan seluruh penerimaan Kontribusi Penyelenggaraan LPU setiap bulan kepada Menteri paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika, Inspektur Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Direktur Jenderal.

Bagian Keempat

Tata Cara Penyampaian Dokumen Dan Penetapan Besaran

Kontribusi Penyelenggaraan Layanan Pos Universal

Pasal 102

  1. Dalam pemenuhan kewajiban pembayaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU, Penyelenggara Pos wajib menyampaikan dokumen paling lambat 14 (empat belas) hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat 1 paling sedikit berupa: a. laporan keuangan; b. bukti transfer pembayaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU; c. Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak; dan d. dokumen sebagai dasar perhitungan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU.
  2. Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, berupa laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik dalam 1 (satu) periode tahun buku dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember atau sesuai periode pelaporan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak.
  3. Penyelenggara Pos yang laporan keuangannya tidak diaudit oleh kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat 2 wajib melampirkan surat pernyataan tidak dilakukan audit oleh kantor akuntan publik sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
  4. Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan secara elektronik kepada Direktur Jenderal cq. Direktur dengan dilampirkan surat pernyataan kebenaran dokumen sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
  5. Dokumen sebagai dasar perhitungan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d dibuat sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 103

  1. Untuk keperluan penetapan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU, dilakukan Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU terhadap setiap Penyelenggara Pos.
  2. Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh petugas yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
  3. Petugas sebagaimana dimaksud pada ayat 2 terlebih dahulu menandatangani pakta integritas sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Menteri ini.
  4. Dalam pelaksanaan Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU, petugas sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat meminta catatan dan/atau dokumen yang menjadi dasar pencatatan serta dokumen lain yang berhubungan dengan kewajiban pembayaran.
  5. Penyelenggara Pos dapat meminta untuk dilakukan Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU setelah melakukan pembayaran dan menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat 1.
  6. Hasil Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dituangkan dalam berita acara penetapan final.
  7. Dalam hal terdapat ketidaksesuaian besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU berdasarkan Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1, petugas yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal membuat materi penjelasan mengenai ketidaksesuaian hasil Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU yang dituangkan dalam berita acara penetapan belum final.

Pasal 104

  1. Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat 1 dilakukan setiap tahun terhadap Penyelenggara Pos yang memiliki pendapatan kotor di atas Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun.
  2. Terhadap Penyelenggara Pos yang memiliki pendapatan kotor kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun, Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali setiap 5 (lima) tahun.

Pasal 105

  1. Dalam rangka penetapan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU, selain melalui Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat 1, Direktur Jenderal dapat meminta Instansi Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan terhadap Penyelenggara Pos.
  2. Penetapan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU dapat dilakukan oleh Instansi Pemeriksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Hasil pemeriksaan dan penetapan yang dilakukan oleh Instansi Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diterbitkan melalui surat pemberitahuan pembayaran yang ditandatangani oleh Direktur.

Pasal 106

  1. Apabila berdasarkan hasil Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU dan/atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat 6 dan penetapan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat 3 terdapat adanya kurang bayar pokok atas kewajiban Kontribusi Penyelenggaraan LPU, Penyelenggara Pos wajib membayar kekurangan bayar pokok dimaksud dan denda keterlambatan pembayaran apabila melebihi jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat 1.
  2. Dalam hal terdapat kurang bayar pokok dan denda keterlambatan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterbitkan surat ketetapan kurang bayar dan surat tagihan.
  3. Apabila berdasarkan hasil Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud dalam bayar pokok atas kewajiban Kontribusi Penyelenggaraan LPU, kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran di muka tahun berikutnya dan diterbitkan surat ketetapan lebih bayar dan surat tagihan.
  4. Apabila berdasarkan hasil Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud dalam lebih bayar dan kurang bayar atas kewajiban Kontribusi Penyelenggaraan LPU, diterbitkan surat ketetapan nihil.

Pasal 107

Pelaksanaan pungutan Kontribusi Penyelenggaraan LPU dilakukan oleh Direktorat Jenderal berdasarkan SOP yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Bagian Kelima

Keberatan

Pasal 108

Penyelenggara Pos dapat mengajukan keberatan terhadap hasil penetapan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat 3 paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal penetapan dengan syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 109

  1. Pengenaan denda keterlambatan pembayaran sebagai akibat dari adanya keterlambatan pembayaran atau kurang bayar pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat 2 dan Pasal 106 ayat 1 dihitung sejak tanggal jatuh tempo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat 1.
  2. Besaran denda keterlambatan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yaitu sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah Kontribusi Penyelenggaraan LPU terutang dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh.
  3. Denda keterlambatan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dikenakan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Pasal 110

  1. Direktur menerbitkan surat tagihan pertama yang ditujukan kepada Penyelenggara Pos yang belum membayar kekurangan bayar pokok dan denda keterlambatan berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat 6 dan/atau Pasal 105 ayat 3.
  2. Surat tagihan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterbitkan paling lama 10 (sepuluh) Hari setelah jatuh tempo pembayaran berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat 6 dan/atau Pasal 105 ayat 3.
  3. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal surat tagihan pertama diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 Penyelenggara Pos tidak melunasi kewajibannya, diterbitkan surat tagihan kedua.
  4. Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal surat tagihan kedua diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat
  5. Penyelenggara Pos tidak melunasi kewajibannya, diterbitkan surat tagihan ketiga.
  6. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat tagihan ketiga diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 Penyelenggara Pos tidak melunasi kewajibannya, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. penyerahan penagihan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; b. penyerahan penagihan kepada instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud pada huruf a disertai dengan tenggat waktu pelunasan; c. dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu masing-masing 7 (tujuh) Hari; d. dalam hal sampai dengan jangka waktu teguran ketiga tidak memenuhi kewajiban pelunasan kurang bayar pokok dan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada huruf c dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan berusaha; dan/atau e. dalam hal pemenuhan kewajiban kurang bayar pokok dan denda keterlambatan tidak dilunasi sampai dengan 5 (lima) tahun dikenakan sanksi administratif pencabutan Perizinan Berusaha.

Bagian Keenam

Pelaporan

Pasal 111

  1. Seluruh Penyelenggara Pos wajib melaporkan perhitungan sendiri Kontribusi Penyelenggaraan LPU untuk setiap tahun buku paling lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya.
  2. Dalam hal Penyelenggara Pos tidak menyampaikan laporan perhitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sampai dengan tanggal 31 Januari tahun berikutnya, Direktur Jenderal melakukan perhitungan Kontribusi Penyelenggaraan LPU dengan mengacu pada perhitungan Kontribusi Penyelenggaraan LPU tahun sebelumnya atau data lain yang sesuai.
  3. Setelah pelaporan Kontribusi Penyelenggaraan LPU dilakukan baik atas perhitungan sendiri maupun verifikasi, Direktur Jenderal menerbitkan surat pemberitahuan PNBP Terutang.
  4. Wajib Bayar dapat mengajukan perbaikan atas laporan perhitungan sendiri Kontribusi Penyelenggaraan LPU, sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat 1.

Pasal 112

Pelaksanaan pelaporan perhitungan secara sendiri, penagihan, dan pengelolaan Kontribusi Penyelenggaraan LPU dilaksanakan melalui sistem elektronik.

Pasal 113

  1. Penyelenggara Pos asing dapat menyelenggarakan Pos di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan syarat: a. wajib bekerjasama dengan Penyelenggara Pos dalam negeri melalui usaha patungan; dan b. kerja sama Penyelenggara Pos asing dengan Penyelenggara Pos dalam negeri dibatasi wilayah operasinya pada ibukota provinsi.
  2. Penyelenggara Pos asing hanya dapat membuat usaha patungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dengan satu Penyelenggara Pos dalam negeri.
  3. Usaha patungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dilakukan dalam bentuk perseroan terbatas dengan cara mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas.
  4. Tata cara dan mekanisme penanaman modal asing dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang perundangan di bidang penanaman modal.

Pasal 114

  1. Penyelenggara Pos hasil usaha patungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat 1 huruf a tidak dapat melaksanakan pengiriman antarkota di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Pengiriman antarkota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan melalui kerja sama operasi dengan Penyelenggara Pos dalam negeri.
  3. Perjanjian kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 paling sedikit memuat: a. peran dan tanggung jawab masing-masing pihak; b. pembagian risiko atas keamanan, keselamatan, dan kerahasiaan kiriman pos; dan c. pemenuhan standar pelayanan minimum pengiriman.

Pasal 115

  1. Direktur Jenderal melakukan pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan Penyelenggaraan Pos.
  2. Pengawasan dan Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dalam bentuk monitoring dan evaluasi.
  3. Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dan/atau secara insidentil.
  4. Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dilaporkan kepada Menteri.
  5. Hasil monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat 4 merupakan bahan evaluasi Perizinan Berusaha Penyelenggaraan Pos.
  6. Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat mengikutsertakan pemangku kepentingan di bidang Pos.

Pasal 116

  1. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian terhadap Layanan Transaksi Keuangan yang terkait dengan aktivitas pemindahan dana dilakukan oleh Bank Indonesia.
  2. Menteri melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia terkait dengan hasil pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat 1.
  3. Pengawasan dan pengendalian atas layanan Tabungan Pos dan Giro Pos dilaksanakan bersama dan/atau secara koordinatif dengan lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 117

Direktur Jenderal melaksanakan pencatatan data dan informasi Penyelenggaraan Pos dalam format database berbasis teknologi informasi.

Pasal 118

  1. Evaluasi Penyelenggaraan Pos secara menyeluruh dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun terhadap kepatuhan Penyelenggaraan Pos.
  2. Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sebagai bahan dasar untuk mempertimbangkan keputusan penilaian terhadap kelayakan Penyelenggara Pos dalam menjalankan kegiatan usahanya.

Pasal 119

SOP monitoring dan evaluasi Penyelenggaraan Pos ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 120

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan terhadap Tabungan Pos diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.

Bagian Kesatu

Kewajiban Penyelenggaraan Pos

Pasal 121

  1. Penyelenggara Pos wajib memenuhi ketentuan penyelenggaraan sebagai berikut: a. memulai operasional Penyelenggaraan Pos paling lambat 6 (enam) bulan sejak diterbitkan Perizinan Berusaha Penyelenggaraan Pos; b. menyampaikan laporan Penyelenggaraan Pos yang memuat paling sedikit: 1. jenis layanan; 2. jumlah produksi; 3. tarif layanan; 4. pencapaian terhadap Standar Pelayanan; 5. wilayah operasi; dan 6. jumlah sumber daya manusia. c. memenuhi kewajiban pembayaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU; d. menyampaikan dokumen setelah memenuhi kewajiban pembayaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat 1; e. menyediakan jaringan Pos sesuai Perizinan Berusaha yang diperoleh; f. melaporkan kepada Menteri dalam hal melakukan perubahan akta pendirian atau susunan pemegang saham dan/atau besaran kepemilikan saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; g. melaksanakan Layanan Transaksi Keuangan terkait aktivitas Wesel Pos dan Transfer Dana dengan tidak memberikan imbal hasil; h. tidak memberikan pinjaman dan/atau kredit pada Layanan Transaksi Keuangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; i. menginvestasikan dana dari masyarakat pada layanan Giro Pos dan/atau Tabungan Pos dalam bentuk instrumen investasi yang memiliki risiko yang rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; j. membuka akses dan memberikan informasi yang diminta untuk kepentingan monitoring dan evaluasi berupa: 1. data dan informasi yang termuat dalam laporan Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud pada huruf b; dan/atau 2. data dan informasi tambahan di luar yang dilaporkan dalam laporan Penyelenggaraan Pos yang paling sedikit memuat: a) laporan mengenai ketersediaan jaringan pos akibat bencana; dan/atau b) gangguan terhadap pemanfaatan teknologi sistem pelacakan kiriman. k. memenuhi ketentuan kerja sama dengan Penyelenggara Pos asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dan Pasal 114; dan/atau l. mematuhi ketentuan Penyelenggaraan Pos dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
  2. Laporan Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b disampaikan setiap tahun paling lambat pada tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya dengan periode pelaporan 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
  3. Dalam melakukan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf j, Menteri dapat membentuk sistem monitoring Penyelenggaraan Pos dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
  4. Pelaporan Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b disampaikan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Bagian Kedua

Kewajiban Penyelenggaraan Agen Kurir

Pasal 122

Pelaku Usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha agen kurir wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. memenuhi standar usaha aktivitas agen kurir;
  2. tidak melakukan aktivitas pengumpulan dan pemrosesan kiriman pos yang sifatnya berbahaya;
  3. menyediakan informasi yang valid dan benar kepada konsumen mengenai produk layanan, tarif atau biaya layanan, kepastian waktu layanan, prosedur layanan, SOP layanan, tata cara pengaduan, dan saluran penyampaian saran dan masukan;
  4. memiliki perjanjian kerja sama sebagai agen kurir dengan Penyelenggara Pos;
  5. menjamin perlindungan konsumen; dan
  6. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan bidang pos dan ketentuan peraturan perundang- undangan lainny

Bagian Ketiga

Tujuan Pengenaan Sanksi Administratif

Pasal 123

Pengenaan sanksi administratif bertujuan untuk:

  1. meningkatkan kepatuhan Pelaku Usaha terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. meningkatkan penetrasi infrastruktur serta kualitas layanan Pos; dan
  3. menjamin hak-hak Pengguna Layanan Po

Bagian Keempat

Pelanggaran dan Sanksi Administratif

Pasal 124

  1. Setiap pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha dan/atau ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat 1 dan Pasal 122 dikenakan sanksi administratif.
  2. Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ditemukenali berdasarkan: a. hasil monitoring dan/atau evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat 3; b. hasil pemeriksaan yang bersumber dari informasi atau laporan pengaduan masyarakat; dan/atau c. hasil pengawasan dan temuan langsung di lapangan.
  3. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa: a. teguran tertulis; b. pengenaan denda administratif; c. penghentian sementara kegiatan berusaha; d. daya paksa polisional; dan/atau e. pencabutan layanan dan/atau Perizinan Berusaha.
  4. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud ayat 3 dikenakan oleh Menteri, Direktur Jenderal, atau Direktur sesuai dengan kewenangan masing-masing.
  5. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf c dan/atau huruf d dilaksanakan berdasarkan surat perintah tugas, terdokumentasi dan dituangkan dalam berita acara.
  6. Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, sanksi administratif tersebut didahului oleh surat perintah untuk menghentikan pelanggaran yang paling sedikit memuat pasal yang dilanggar, ancaman sanksi, batas waktu dan perintah untuk menghentikan kegiatan yang melanggar ketentuan.
  7. Pengenaan sanksi administratif dapat dilakukan secara berjenjang atau berdiri sendiri untuk masing-masing jenis sanksi administratif.
  8. Pengenaan sanksi administratif tidak menghilangkan kewajiban Pelaku Usaha untuk memenuhi kewajiban Perizinan Berusaha dan/atau ketentuan yang dilanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat 1 dan
  9. Menteri melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia dalam pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 3 terhadap Penyelenggara Pos yang menyelenggarakan Layanan Transaksi Keuangan yang terkait dengan aktivitas pemindahan dana.

Pasal 125

  1. Hasil pemeriksaaan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pos yang terindikasi sebagai tindak pidana bidang Pos, diserahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
  2. Penanganan pelanggaran tindak pidana bidang Pos tidak menggugurkan pengenaan sanksi administratif.

Bagian Kelima

Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Teguran Tertulis

Pasal 126

  1. Direktur Jenderal menerbitkan teguran tertulis bagi Pelaku Usaha yang melanggar dan/atau tidak memenuhi kewajiban Perizinan Berusaha paling lambat 10 (sepuluh) Hari sejak ditemukenalinya pelanggaran kewajiban yang dituangkan dalam berita acara dan/atau bukti lainnya.
  2. Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berisi perintah untuk segera mematuhi kewajiban berusaha atau melaksanakan kegiatan berusaha sesuai dengan ketentuan dalam jangka waktu yang ditetapkan serta memuat tahapan selanjutnya dari sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.
  3. Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan paling banyak 3 (tiga) kali untuk jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari.
  4. Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 3 disampaikan melalui: a. surat dan/atau daring untuk teguran pertama; b. surat dan/atau daring untuk teguran kedua; dan c. daring untuk teguran ketiga.
  5. Tahapan pengenaan teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dihentikan prosesnya jika Pelaku Usaha telah memenuhi kewajibannya.

Bagian Keenam

Tata Cara Keberatan

Pasal 127

  1. Keberatan merupakan upaya administratif yang dapat diajukan oleh Pelaku Usaha yang dikenakan sanksi administratif.
  2. Keberatan tidak menunda pengenaan sanksi administratif.
  3. Pelaku Usaha dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal dalam waktu paling lama 21 (dua puluh satu) Hari sejak pertama kali diterbitkannya teguran tertulis sesuai jenis pelanggarannya dengan melampirkan dokumen pendukung.
  4. Pelaku Usaha yang mengajukan keberatan atas keputusan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib menyampaikan surat pernyataan keberatan dan bukti pendukung tidak melakukan pelanggaran.
  5. Direktur Jenderal menyelesaikan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diterimanya keberatan yang dibuktikan dengan tanda terima pengiriman surat.
  6. Dalam hal Direktur Jenderal tidak menyelesaikan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 5, keberatan dianggap dikabulkan.
  7. Direktur Jenderal menetapkan keputusan untuk menerima atau menolak keberatan paling lama 5 (lima) Hari setelah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 5.
  8. Dalam hal keberatan diterima, sanksi administratif yang diberikan terkait dengan pelanggaran kewajiban dimaksud batal demi hukum.
  9. Dalam proses penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 5, Direktur Jenderal berwenang meminta keterangan tambahan kepada Pelaku Usaha yang bersangkutan atau pihak lain yang dianggap perlu.

Bagian Ketujuh

Tata Cara Pengenaan Denda Administratif

Pasal 128

  1. Direktur menerbitkan surat pemberitahuan pembayaran untuk pengenaan sanksi denda administratif yang memuat: a. besaran denda yang dikenakan; b. jatuh tempo pembayaran; c. cara penyetoran; dan d. informasi denda keterlambatan pembayaran sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  2. Surat pemberitahuan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterbitkan paling lambat 10 (sepuluh) Hari sejak berakhirnya batas waktu teguran tertulis terakhir dan/atau sejak ditemukenalinya pelanggaran kewajiban yang dituangkan dalam berita acara dan/atau bukti lainnya.
  3. Jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b terhitung 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya surat pemberitahuan pembayaran.
  4. Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari setelah jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 3 Pelaku Usaha belum atau tidak melunasi kewajibannya, maka Direktur menerbitkan surat tagihan pertama.
  5. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal surat tagihan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat 4 diterbitkan, Pelaku Usaha belum atau tidak melunasi kewajibannya, maka Direktur menerbitkan surat tagihan kedua.
  6. Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal surat tagihan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat 5 diterbitkan, Pelaku Usaha belum atau tidak melunasi kewajibannya, maka Direktur menerbitkan surat tagihan ketiga.
  7. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat tagihan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat 6 diterbitkan, Pelaku Usaha belum atau tidak melunasi kewajibannya, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Pelaku Usaha dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau b. penyerahan penagihan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang piutang negara.
  8. Keterlambatan atas pembayaran sanksi denda yang melebihi jatuh tempo pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam surat pemberitahuan pembayaran, dikenakan sanksi denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah sanksi denda yang harus dibayarkan, dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh.
  9. Sanksi denda keterlambatan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 8 dikenakan untuk waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
  10. Pembayaran sanksi administratif berupa denda oleh Pelaku Usaha disetor langsung ke kas negara melalui rekening Bendahara Penerima pada bank Pemerintah yang ditunjuk.

Bagian Kedelapan

Tata Cara Penghentian Sementara Kegiatan Berusaha

Pasal 129

  1. Penghentian sementara kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat 3 huruf c merupakan sanksi administratif untuk menghentikan kegiatan operasional Pelaku Usaha dalam jangka waktu tertentu paling lama 1 (satu) tahun.
  2. Penghentian sementara kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berakhir sampai dengan dipenuhinya kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pelaku Usaha terhadap pelanggaran yang telah dilakukan.
  3. Dalam hal Pelaku Usaha yang dikenakan sanksi administratif penghentian sementara kegiatan berusaha telah memenuhi kewajiban sebelum masa penghentian sementara kegiatan berusaha berakhir, Pelaku Usaha harus melapor kepada Direktur yang memerintahkan penghentian sementara kegiatan berusaha.

Bagian Kesembilan

Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Administratif Dengan Daya

Paksa Polisional

Pasal 130

  1. Daya paksa polisional sebagaimana dimaksud dalam a. meminta identitas pelaku pelanggaran dan mendokumentasikan dalam bentuk digital; b. memasuki dan memeriksa lokasi kegiatan usaha; c. meminta keterangan Pelaku Usaha yang melakukan pelanggaran; d. memanggil Pelaku Usaha yang melakukan pelanggaran; dan/atau e. penyegelan sementara alat dan/atau perangkat penunjang yang digunakan untuk kegiatan berusaha.
  2. Daya paksa polisional sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan bersamaan dengan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan berusaha.

Bagian Kesepuluh

Tata Cara Pencabutan Layanan dan/atau Perizinan Berusaha

Pasal 131

  1. Direktur Jenderal menerbitkan rekomendasi pencabutan layanan dan/atau Perizinan Berusaha sebagai tahap paling akhir dalam tahapan pengenaan sanksi administratif.
  2. Pencabutan layanan dan/atau Perizinan Berusaha dapat dilakukan secara langsung apabila pelanggaran yang dilakukan Pelaku Usaha membahayakan keamanan negara dan/atau berpotensi merugikan negara.
  3. Pencabutan layanan dan/atau Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak membatalkan kewajiban-kewajiban Pelaku Usaha terhadap piutang negara.

Bagian Kesebelas

Rincian Pengenaan Sanksi Administratif

Pasal 132

Ketentuan mengenai rincian pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, Pasal 126, dan Pasal 128 sampai dengan Pasal 131, tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Bagian Keduabelas

Daftar Hitam

Pasal 133

  1. Direksi, pengurus, perorangan, dan/atau badan hukum Pelaku Usaha dapat ditetapkan dalam Daftar Hitam Penyelenggara dalam hal Pelaku Usaha dikenai sanksi administratif berupa pencabutan layanan dan/atau Perizinan Berusaha.
  2. Direksi, pengurus, perorangan, dan/atau badan hukum Pelaku Usaha yang ditetapkan dalam Daftar Hitam Penyelenggara, dilarang terlibat dalam Penyelenggaraan Pos.
  3. Direksi, pengurus, perorangan, dan/atau badan hukum Pelaku Usaha dapat dikeluarkan dari Daftar Hitam Penyelenggara setelah: a. 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkan dalam Daftar Hitam Penyelenggara; dan/atau b. kewajiban yang menjadi piutang negara dipenuhi.

Bagian Ketigabelas

Pengenaan Sanksi Administratif Penyelenggaraan LPU

Pasal 134

  1. Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif pada Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 sampai dengan 132 tidak berlaku bagi penyelenggaraan LPU.
  2. Pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan LPU didasarkan pada perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempatbelas

Pengenaan Sanksi pada Kawasan Ekonomi dan Kawasan

Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

Pasal 135

Pemberian sanksi administratif untuk wilayah Kawasan Ekonomi Khusus dan/atau Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dilaksanakan berdasarkan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 136

  1. Penyelenggara Pos yang telah menyediakan layanan Giro Pos dan/atau Tabungan Pos sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini tetap dapat melaksanakan kegiatannya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku.
  2. Kewajiban penyesuaian Penyelenggara Pos yang telah menyediakan layanan Giro Pos dan/atau Tabungan Pos dengan Peraturan Menteri ini sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak termasuk ketentuan kewajiban modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 1.

Pasal 137

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

  1. besaran tarif LPU sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 29 Tahun 2013 tentang Tarif Layanan Pos Universal masih tetap berlaku sampai dengan ditetapkannya besaran tarif LPU yang baru;
  2. Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1670 Tahun 2016 tentang Penugasan PT. Pos Indonesia (Persero) sebagai Penyelenggara Pos yang ditunjuk oleh Pemerintah (Designated Operator) masih tetap berlaku sampai dengan adanya penetapan Menteri yang baru; dan
  3. perjanjian kerja LPU yang telah ada dan berlaku, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja dimaksu

Pasal 138

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan Penyelenggaraan Pos yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.

Pasal 139

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

  1. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Layanan Pos Universal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 980);
  2. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 29 Tahun 2013 tentang Tarif Layanan Pos Universal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1546);
  3. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 4 Tahun 2017 tentang Mekanisme Kontribusi Layanan Pos Universal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 163); dan
  4. Pasal 5, Pasal 6 ayat 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 23, Pasal 25, dan Pasal 36 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 Tahun 2017 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Izin Penyelenggaraan Pos (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 232), dicabut dan dinyatakan tidak berlak

Pasal 140

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.


SALINAN

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 4 TAHUN 2021

TENTANG

PENYELENGGARAAN POS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 294 ayat 5, Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, serta Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penyelenggaraan Pos;

Mengingat

  1. Pasal 17 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5065);
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5403);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6617);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6658);
  7. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2015 tentang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 96);
  8. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 6 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1019);

Memutuskan

Menetapkan

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG PENYELENGGARAAN POS.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
  2. Pos adalah Layanan Komunikasi Tertulis dan/atau Surat Elektronik, Layanan Paket, Layanan Logistik, Layanan Transaksi Keuangan, dan Layanan Keagenan Pos untuk kepentingan umum.
  3. Layanan Pos Universal yang selanjutnya disingkat LPU adalah layanan Pos jenis tertentu yang wajib dijamin oleh pemerintah untuk menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memungkinkan masyarakat mengirim dan/atau menerima kiriman dari satu tempat ke tempat lain di dunia.
  4. Penyelenggara Pos adalah suatu badan usaha yang menyelenggarakan Pos.
  5. Penyelenggara Layanan Pos Universal yang selanjutnya disebut Penyelenggara LPU adalah Penyelenggara Pos yang mendapat penugasan untuk melaksanakan Layanan Pos Universal.
  6. Penyelenggaraan Pos adalah keseluruhan kegiatan pengelolaan dan penatausahaan layanan pos.
  7. Layanan Transaksi Keuangan adalah kegiatan penyetoran, penyimpanan, pemindahbukuan, pendistribusian, dan pembayaran uang dari/atau untuk pengguna jasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  8. Transfer Dana adalah rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari pengirim asal yang bertujuan untuk memindahkan sejumlah dana kepada penerima yang disebutkan dalam perintah Transfer Dana sampai dengan diterimanya dana oleh penerima.
  9. Wesel Pos adalah layanan pengiriman uang secara tunai dan/atau transfer yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Pos.
  10. Tabungan Pos adalah simpanan uang melalui Penyelenggara Pos yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu.
  11. Giro Pos adalah simpanan Rupiah pada Penyelenggara Pos yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek pos, bilyet giro pos, sarana pembayaran/penarikan, atau dengan pemindahbukuan.
  12. Simpanan Pos adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada Penyelenggara Pos berdasarkan perjanjian penyimpanan uang dalam bentuk Giro Pos dan/atau Tabungan Pos.
  13. Rekening Giro Pos adalah rekening Giro Pos Rupiah yang dananya dapat ditarik setiap saat dengan menggunakan sarana perintah pembayaran atau melalui pemindahbukuan.
  14. Rekening Koran Pos adalah laporan yang memuat posisi dan mutasi atas transaksi yang terjadi pada Rekening Giro Pos dan/atau Tabungan Pos.
  15. Spesimen Tanda Tangan adalah contoh tanda tangan yang ditulis pada formulir yang disediakan oleh Penyelenggara Pos untuk keperluan layanan transaksi keuangan.
  16. Sistem Pembayaran adalah suatu sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, mekanisme, infrastruktur, sumber dana untuk pembayaran, dan akses ke sumber dana untuk pembayaran, yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.
  17. Rekening Pos adalah rekening Giro Pos, dan/atau rekening Tabungan Pos, baik yang dimiliki oleh perseorangan, institusi, maupun bersama, yang dapat didebit dan/atau dikredit dalam rangka pelaksanaan Layanan Transaksi Keuangan, termasuk Rekening Pos antarkantor Penyelenggara Pos yang sama.
  18. Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos adalah prinsip yang diterapkan Penyelenggara Pos dalam rangka mengetahui profil, karakteristik, serta pola transaksi keuangan yang dilakukan oleh Pengguna Layanan Pos atau calon Pengguna Layanan Pos.
  19. Standar Operasional Prosedur yang selanjutnya disingkat SOP adalah seperangkat aturan yang menjadi petunjuk bagi Penyelenggara Pos dalam menyelenggarakan layanan Pos.
  20. Pengguna Layanan Pos adalah seluruh pihak yang menggunakan layanan Pos.
  21. Hari adalah Hari Kerja.
  22. Kantor Layanan Pos Universal yang selanjutnya disebut Kantor LPU adalah kantor yang ditetapkan untuk menerima dana subsidi operasional.
  23. Benda Pos adalah semua jenis prangko, semua jenis formulir, kartu dan sampul yang dijual kepada umum.
  24. Barang Cetakan adalah segala jenis publikasi yang dicetak pada kertas atau bahan lain termasuk tetapi tidak terbatas pada buku, brosur, katalog, surat kabar, dan majalah.
  25. Verifikasi adalah kegiatan pencocokan data jumlah realisasi produksi kiriman LPU dan data aspek operasional, sarana dan prasarana, dan aspek keuangan pada Kantor LPU yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Layanan Pos Universal yang terdiri atas Verifikasi Lapangan dan Verifikasi Dokumen.
  26. Verifikasi Lapangan adalah kegiatan pencocokan data jumlah realisasi produksi Kiriman Pos Universal dan data aspek operasional, sarana dan prasarana, dan aspek keuangan penyelenggaraan Layanan Pos Universal yang dilakukan di Kantor LPU.
  27. Verifikasi Dokumen adalah kegiatan pencocokan data administratif realisasi komponen produksi kiriman Pos universal dan biaya Kantor LPU dengan komponen biaya yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri ini.
  28. Kontribusi Penyelenggaraan Layanan Pos Universal yang selanjutnya disebut Kontribusi Penyelenggaraan LPU adalah kewajiban yang harus dibayar oleh setiap Penyelenggara Pos sebagai kontribusi terhadap pembiayaan layanan pos universal dan merupakan penerimaan negara bukan pajak.
  29. Denda Keterlambatan Pembayaran adalah denda yang dikenakan kepada Penyelenggara Pos akibat adanya keterlambatan pembayaran setelah melewati jatuh tempo pembayaran.
  30. Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU adalah kegiatan pencocokan dan penelitian tentang kebenaran laporan, pembayaran, pernyataan, dan perhitungan kontribusi penyelenggaraan LPU.
  31. Daftar Hitam Penyelenggara adalah daftar yang memuat identitas direksi, pengurus, dan/atau badan hukum yang dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  32. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara baik di kantor pusat maupun di kementerian kantor daerah atau satuan kerja negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.
  33. Bendahara Penerima adalah Bendahara Penerima Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika yang diangkat oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
  34. Instansi Pemeriksa adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
  35. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  36. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
  37. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang lingkup tugas dan fungsinya di bidang Penyelenggaraan Pos dan informatika.
  38. Direktur adalah direktur yang ruang lingkup tugas dan fungsinya di bidang pengendalian pos dan informatika.

BAB II

PENYELENGGARAAN POS

Pasal 2

Penyelenggaraan Pos dilakukan oleh badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, yang terdiri atas:

  1. Badan Usaha Milik Negara;
  2. Badan Usaha Milik Daerah;
  3. Badan Usaha Milik Swasta; dan
  4. Koperas

Pasal 3

  1. Penyelenggara Pos wajib mendapatkan Perizinan Berusaha Penyelenggaraan Pos untuk menyelenggarakan kegiatannya.
  2. Persyaratan dan tata cara Perizinan Berusaha Penyelenggaraan Pos dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4

  1. Penyelenggara Pos yang telah memperoleh Perizinan Berusaha Penyelenggaraan Pos wajib menyediakan Layanan Pos sesuai dengan Perizinan Berusaha Penyelenggaraan Pos yang diperoleh.
  2. Layanan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri atas layanan:
    a. komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik;
    b. paket;
    c. logistik;
    d. transaksi keuangan; dan
    e. keagenan Pos.
  3. Penyelenggaraan layanan logistik dan Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf c dan huruf d, dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5

  1. Penyelenggara Pos yang akan melaksanakan Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 huruf d wajib paling sedikit menyediakan Layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 huruf a dan/atau huruf b.
  2. Penyelenggara Pos yang akan melaksanakan Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 huruf d wajib memiliki jaringan di seluruh ibukota provinsi di Indonesia.

BAB III

LAYANAN TRANSAKSI KEUANGAN

Bagian Kesatu

Ruang Lingkup Layanan Transaksi Keuangan

Pasal 6

  1. Penyelenggara Pos dapat melaksanakan Layanan Transaksi Keuangan yang terdiri atas:
    a. Wesel Pos;
    b. Giro Pos;
    c. Transfer Dana; dan
    d. Tabungan Pos.
  2. Penyelenggara Pos yang akan menyelenggarakan Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang terkait dengan aktivitas pemindahan dana wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Penyelenggara Pos wajib melaporkan pelaksanaan kegiatan operasional Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 kepada Menteri paling lambat 10 (sepuluh) Hari sejak diterbitkannya izin dari Bank Indonesia.

Pasal 7

Penyelenggara Pos dalam melaksanakan Layanan Transaksi Keuangan wajib berdasarkan prinsip kehati-hatian, menerapkan tata kelola perusahaan yang baik serta mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8

  1. Penyelenggara Pos yang menyelenggarakan Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 yang terkait dengan aktivitas pemindahan dana wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia terkait penyelenggaraan Sistem Pembayaran.
  2. Ketentuan mengenai penyelenggaraan Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mencakup paling sedikit perizinan, penyelenggaraan kegiatan, pengawasan, kewajiban pelaporan, akses data dan informasi, pengenaan sanksi administratif, dan penghentian kegiatan.

Bagian Kedua

Transfer Dana dan Wesel Pos

Pasal 9

  1. Penyelenggara Pos dapat melakukan kegiatan Transfer Dana sebagai:
    a. penyelenggara Transfer Dana; dan
    b. tempat penguangan tunai melalui kerja sama dengan penyelenggara Transfer Dana yang telah memperoleh izin dan memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Penyelenggara Pos yang akan melakukan kegiatan Transfer Dana wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Kegiatan Transfer Dana oleh Penyelenggara Pos dilakukan dengan cara penerimaan dan/atau pengiriman secara tunai atau non-tunai melalui:
    a. Wesel Pos; dan/atau
    b. pemanfaatan Rekening Giro Pos atau Tabungan Pos sebagai sumber dana.
  4. Kegiatan Transfer Dana melalui Rekening Giro Pos atau Tabungan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf b hanya dapat diberikan apabila Penyelenggara Pos menyediakan layanan Giro Pos atau Tabungan Pos.

Pasal 10

  1. Pengguna layanan Pos dapat mengirimkan uang melalui Wesel Pos secara:
    a. tunai; dan
    b. transfer.
  2. Wesel Pos secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dilakukan dengan cara pengiriman uang secara tunai untuk disampaikan secara tunai kepada penerima.
  3. Wesel Pos secara transfer sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dilakukan dengan cara:
    a. pengiriman uang secara tunai untuk ditransfer ke Rekening Giro Pos, Tabungan Pos, dan/atau rekening pada bank; dan
    b. pengiriman uang melalui Rekening Giro Pos dan/atau Tabungan Pos, untuk diterima secara tunai.
  4. Pengiriman uang secara tunai untuk ditransfer ke rekening pada bank sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf a dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11

Biaya jasa atas kegiatan Transfer Dana dan Wesel Pos dibebankan kepada pengguna layanan.

Pasal 12

Kegiatan Transfer Dana dan Wesel Pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga

Simpanan Pos

Paragraf 1

Umum

Pasal 13

  1. Penyelenggara Pos dapat menyediakan layanan Simpanan Pos berupa:
    a. Giro Pos; dan/atau
    b. Tabungan Pos.
  2. Kegiatan Giro Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dilakukan secara mandiri.
  3. Kegiatan Tabungan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dilakukan secara mandiri atau bekerjasama dengan lembaga perbankan.
  4. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat 3 berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14

Penyelenggara Pos dalam menyelenggarakan operasional Kegiatan Giro Pos dan/atau Tabungan Pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 1 dapat bekerjasama dengan lembaga asuransi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2

Persyaratan Penyediaan Layanan Giro Pos dan/atau Tabungan

Pos Secara Mandiri

Pasal 15

  1. Penyelenggara Pos yang menyediakan layanan Giro Pos dan/atau Tabungan Pos wajib memiliki modal disetor paling sedikit Rp50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah).
  2. Dikecualikan terhadap Penyelenggara Pos yang memiliki penanam modal asing, modal yang disetor paling sedikit Rp100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah).

Pasal 16

  1. Penyelenggara Pos yang menyediakan layanan Giro Pos dan/atau Tabungan Pos wajib memiliki 1 (satu) direksi yang memiliki pengalaman operasional di bidang perbankan paling singkat 5 (lima) tahun.
  2. Pengalaman sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pada level jabatan paling rendah sebagai deputi direktur atau sederajat dan memiliki sertifikat manajemen risiko.
  3. Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang merangkap jabatan sebagai anggota direksi atau jabatan eksekutif lainnya pada perusahaan lain atau anak usaha lainnya.
  4. Anggota direksi dilarang mempunyai hubungan keluarga sampai derajat kedua menurut garis lurus maupun ke samping dengan anggota direksi lain atau dengan anggota dewan komisaris.
  5. Anggota direksi dilarang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima persen) pada perusahaan lain.

Paragraf 3
Fasilitas Giro Pos

Pasal 17

  1. Penyelenggara Pos yang menyediakan layanan Giro Pos dapat menyediakan fasilitas:
    a. layanan penyetoran, penyimpanan, penarikan, pemindahbukuan, pembayaran, dan administrasi terkait penatausahaan Rekening Giro Pos;
    b. sarana warkat pembukuan untuk penyetoran dan penarikan Rekening Giro Pos;
    c. sarana elektronik bagi Pemilik Rekening Giro Pos tertentu;
    d. layanan data dan/atau informasi hasil penyelesaian transaksi Rekening Giro Pos; dan
    e. layanan pemindahbukuan dilakukan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang undangan.
  2. Sarana elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4
Sarana Penyetoran dan Penarikan

Pasal 18

  1. Penyetoran dan/atau penarikan Rekening Giro Pos dilakukan dengan menggunakan:
    a. warkat penyetoran tunai;
    b. sarana penyetoran atau penarikan elektronik yang disediakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    c. sarana penyetoran atau penarikan lain.
  2. Sarana penyetoran atau penarikan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b digunakan untuk pemindahan dana antar Rekening Giro Pos.
  3. Pemindahan dana dari Rekening Giro Pos ke rekening pada bank dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 5

Rekening Giro Pos

Pasal 19

  1. Pengguna Layanan Pos dapat membuka Rekening Giro Pos.
  2. Pengguna Layanan Pos dalam melakukan pembukaan Rekening Giro Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib memberikan informasi atau data yang benar dan sesuai secara bertanggung jawab.
  3. Penyelenggara Pos wajib menjaga kerahasiaan data pribadi Pengguna Layanan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 20

  1. Pengguna Layanan Pos mengajukan permohonan pembukaan Rekening Giro Pos dengan ketentuan:
    a. mengisi formulir pendaftaran; dan
    b. memenuhi persyaratan administratif.
  2. Pengajuan pembukaan Rekening Giro Pos dilakukan oleh Pengguna Layanan Pos dengan mendatangi kantor Penyelenggara Pos atau tempat dan cara lain.
  3. Tata cara pembukaan Rekening Giro Pos diatur lebih lanjut oleh Penyelenggara Pos dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian.

Pasal 21

  1. Penyetoran Rekening Giro Pos dapat dilakukan oleh:
    a. pemilik Rekening Giro Pos; atau
    b. bukan Pemilik Rekening Giro Pos.
  2. Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dengan cara tunai atau non-tunai.
  3. Non-tunai sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan melalui pemindahbukuan atau transfer antar Rekening Giro Pos.
  4. Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan melalui kantor Penyelenggara Pos atau tempat dan cara lain.
  5. Penyetoran dana yang melebihi Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) wajib mencantumkan informasi mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana.
  6. Penyelenggara Pos wajib menerapkan prinsip-prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme dan/atau kegiatan ilegal lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22

  1. Penarikan Rekening Giro Pos dapat dilakukan oleh pemilik Rekening Giro Pos atau pihak yang diberi kuasa oleh pemilik Rekening Giro Pos kecuali ditentukan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Pemberian kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dalam bentuk kuasa khusus.
  3. Pihak yang memberi kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib membuat Spesimen Tanda Tangan.

Pasal 23

  1. Penarikan Rekening Giro Pos dapat dilakukan di kantor Penyelenggara Pos atau tempat dan cara lain.
  2. Penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dengan melampirkan kartu identitas pemilik Rekening Giro Pos atau penerima kuasa.

Pasal 24

  1. Pemilik Rekening Giro Pos dapat melakukan pemindahbukuan dana sesuai tata cara yang ditetapkan oleh Penyelenggara Pos dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Setiap pemindahbukuan dana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib melampirkan kartu identitas pemilik Rekening Giro Pos atau penerima kuasa.

Pasal 25

  1. Perubahan Rekening Giro Pos dapat dilakukan apabila terdapat perubahan:
    a. nomor rekening;
    b. nama rekening; atau
    c. perubahan data alamat identitas pemilik Rekening Giro Pos.
  2. Perubahan nama rekening sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b hanya dapat dilakukan oleh pemilik Rekening Giro Pos dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis kepada Penyelenggara Pos.

Pasal 26

  1. Pemilik Rekening Giro Pos dapat menggunakan layanan autodebet.
  2. Mekanisme dan tata cara autodebet sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan oleh Penyelenggara Pos dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 27

  1. Rekening Giro Pos ditutup apabila:
    a. pemilik Rekening Giro Pos mengajukan permohonan tertulis;
    b. pemilik Rekening Giro Pos meninggal dunia;
    c. menteri, pimpinan lembaga, atau pejabat yang berwenang mengajukan permintaan tertulis dalam rangka pengawasan terhadap kegiatan usaha pemilik Rekening Giro Pos dan/atau proses penegakan hukum; dan/atau
    d. Rekening Giro Pos tidak aktif selama 2 (dua) tahun.
  2. Dalam hal Rekening Giro Pos tidak aktif selama 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d, berlaku ketentuan sebagai berikut:
    a. saldo Rekening Giro Pos tetap merupakan hak pemilik Rekening Giro Pos sampai dengan batas waktu kadaluwarsa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    b. Rekening Giro Pos tidak aktif selama 2 (dua) tahun mulai dikenakan biaya administrasi pada awal tahun ketiga;
    c. Rekening Giro Pos yang tidak aktif sebagaimana dimaksud pada huruf b dapat diaktifkan kembali melalui permintaan tertulis dari pemilik rekening kepada Penyelenggara Pos; dan
    d. Penyelenggara Pos wajib melakukan pengawasan secara berkala atas Rekening Giro Pos yang tidak aktif.
  3. Penyelenggara Pos menetapkan tata cara dan mekanisme penutupan Rekening Giro Pos.

Pasal 28

Penyelenggara Pos dapat menyediakan Rekening Koran Pos bagi pemilik Rekening Giro Pos.

Pasal 29

  1. Penyelenggara Pos menetapkan besaran imbal hasil layanan Giro Pos.
  2. Besaran imbal hasil layanan Giro Pos ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30

  1. Rekening Giro Pos dikenakan biaya administrasi yang besarannya ditentukan oleh Penyelenggara Pos secara wajar dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Dana yang dikumpulkan oleh Penyelenggara Pos melalui kegiatan Giro Pos wajib disimpan pada rekening Bank Umum dan/atau Bank Umum Syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Besaran dana yang disimpan di Bank sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mempertimbangkan risiko likuiditas Penyelenggara Pos.
  4. Penyimpanan dana Rekening Giro Pos di Bank sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan pada kesempatan pertama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 31

  1. Pemblokiran atau pembukaan blokir terhadap Rekening Giro Pos dapat dilakukan atas:
    a. permintaan pemilik rekening; dan/atau
    b. permintaan pihak berwenang;
  2. Pemblokiran atau pembukaan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak dapat diwakilkan.
  3. Pemblokiran atau pembukaan blokir terhadap Rekening Giro Pos dilakukan oleh Penyelenggara Pos. Paragraf 6 Tabungan Pos

Pasal 32

  1. Penyelenggara Pos dapat menyediakan Tabungan Pos.
  2. Tabungan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didasarkan pada ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 33

  1. Penyelenggara Pos dapat memberikan imbal hasil Tabungan Pos kepada Pengguna Layanan Pos.
  2. Imbal hasil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 7

Pemanfaatan Dana

Pasal 34

  1. Dana masyarakat yang terkumpul pada Giro Pos dan/atau Tabungan Pos diinvestasikan oleh Penyelenggara Pos melalui instrumen investasi yang memiliki risiko yang rendah.
  2. Instrumen investasi yang berisiko rendah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi:
    a. surat utang negara; dan/atau
    b. surat berharga negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Penyelenggara Pos wajib bertanggung jawab atas pengelolaan dana Giro Pos dan/atau Tabungan Pos yang diinvestasikan.

Pasal 35

Layanan Transaksi Keuangan tidak memberikan pinjaman dan/atau kredit serta tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 8

Ketentuan Lain-Lain

Pasal 36

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Giro Pos dan Tabungan Pos diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat

Penjualan Saham Perusahaan

Pasal 37

Penyelenggara Pos yang menyediakan Layanan Transaksi Keuangan hanya dapat menjual sahamnya melalui bursa efek paling banyak 49% (empat puluh sembilan persen) dari saham yang dicatatkan pada bursa efek di Indonesia.

Bagian Kelima

Manajemen Risiko

Pasal 38

  1. Penyelenggara Pos yang menyediakan Layanan Transaksi Keuangan wajib menerapkan manajemen risiko paling sedikit mencakup:
    a. pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi;
    b. kecukupan kebijakan, prosedur manajemen risiko, dan penetapan limit risiko;
    c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan
    d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
  2. Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan kompleksitas usaha serta kemampuan Penyelenggara Pos.
  3. Pelaksanaan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menjadi bagian dari penilaian tingkat kesehatan Penyelenggara Pos khususnya faktor profil risiko.
  4. Pelaksanaan manajemen risiko Layanan Transaksi Keuangan terkait dengan aktivitas pemindahan dana dilaksanakan sesuai ketentuan Bank Indonesia.

Pasal 39

Selain manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Penyelenggara Pos juga melakukan mitigasi atau manajemen risiko terhadap:

  1. risiko operasional;
  2. risiko likuiditas;
  3. risiko reputasi;
  4. risiko investasi;
  5. risiko hukum;
  6. risiko kepatuhan; dan
  7. risiko strategi

Bagian Keenam

Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos

Pasal 40

  1. Penyelenggara Pos wajib mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana pendanaan terorisme terkait Pengguna Layanan Pos, negara atau area geografis, produk, jasa, transaksi atau jaringan distribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Penyelenggara Pos wajib:
    a. mendokumentasikan penilaian risiko;
    b. mempertimbangkan seluruh faktor risiko yang relevan sebelum menetapkan tingkat keseluruhan risiko, serta tingkat dan jenis mitigasi risiko yang memadai untuk diterapkan;
    c. memutakhirkan penilaian risiko secara berkala; dan
    d. memiliki mekanisme yang memadai terkait penyediaan informasi penilaian risiko kepada instansi yang berwenang.
  3. Penyelenggara Pos wajib menerapkan Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos untuk mengelola dan memitigasi risiko yang telah diidentifikasi berdasarkan penilaian risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  4. Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos hanya diterapkan kepada Pengguna Layanan Pos pada Layanan Transaksi Keuangan.

Pasal 41

  1. Penyelenggara Pos wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pejabat yang bertanggung jawab atas penerapan Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos, pada kantor pusat dan kantor cabang.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai unit kerja khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan sesuai ketentuan dari lembaga yang berwenang di bidang pelaporan dan analisis transaksi keuangan.

Pasal 42

  1. Penyelenggara Pos wajib memiliki kebijakan dan prosedur untuk mengelola dan memitigasi risiko pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme yang diidentifikasi sesuai penilaian risiko.
  2. Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan sesuai ketentuan dari lembaga yang berwenang di bidang pelaporan dan analisis transaksi keuangan.

Pasal 43

  1. Dalam rangka melakukan hubungan usaha dengan calon Pengguna Layanan Pos terkait Layanan Transaksi Keuangan, Penyelenggara Pos wajib:
    a. melakukan identifikasi calon Pengguna Layanan Pos untuk mengetahui profil Pengguna Layanan Pos; dan
    b. melakukan verifikasi atas informasi dan dokumen pendukung calon Pengguna Layanan Pos.
  2. Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dilakukan melalui pengumpulan informasi mengenai Pengguna Layanan Pos dan/atau wakil Pengguna Layanan Pos yang paling sedikit memuat:
    a. identitas calon Pengguna Layanan Pos atau yang mewakili calon Pengguna Layanan Pos;
    b. sumber dana;
    c. hubungan usaha dan tujuan transaksi yang akan dilakukan Pengguna Layanan Pos atau wakil Pengguna Layanan Pos dengan Penyelenggara Pos;
    d. informasi pihak-pihak yang ditunjuk untuk bertindak atas nama korporasi dalam melakukan hubungan usaha dengan Penyelenggara Pos;
    e. identitas pemilik korporasi, direksi, pendiri, pengurus, pembina, atau pihak lain yang berwenang mengendalikan korporasi;
    f. identitas pemilik manfaat (beneficial owner) atas korporasi; dan
    g. informasi lain untuk mengetahui profil calon Pengguna Layanan Pos atau wakil Pengguna Layanan Pos, termasuk informasi yang diperintahkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Dalam hal Penyelenggara Pos meragukan kebenaran informasi terkait pemilik manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf f, Penyelenggara Pos wajib melakukan upaya lain dalam rangka memperoleh informasi.

Pasal 44

Penyelenggara Pos wajib memiliki sistem manajemen risiko untuk menentukan apakah calon Pengguna Layanan Pos termasuk kriteria berisiko tinggi.

Pasal 45

Ketentuan lebih lanjut mengenai Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos untuk Layanan Transaksi Keuangan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dari lembaga yang berwenang di bidang pelaporan dan analisis transaksi keuangan.

Bagian Ketujuh

Penatausahaan Dokumen

Pasal 46

  1. Penyelenggara Pos wajib melakukan penatausahaan dokumen terkait dengan data Pengguna Layanan Pos dalam jangka waktu paling singkat 10 (sepuluh) tahun sejak:
    a. berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan Pengguna Layanan Pos; atau
    b. ditemukannya ketidaksesuaian transaksi dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha.
  2. Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit meliputi:
    a. transaksi Pengguna Layanan Pos, baik transaksi domestik maupun transaksi internasional;
    b. dokumen yang diperoleh Penyelenggara Pos pada saat penerapan Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos;
    c. bukti hubungan usaha antara Penyelenggara Pos dengan Pengguna Layanan Pos; dan
    d. kegiatan analisis yang telah dilakukan oleh Penyelenggara Pos.
  3. Penyelenggara Pos wajib memenuhi permintaan informasi dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dari lembaga yang berwenang dan/atau instansi penegak hukum paling lambat 3 (tiga) hari sejak Penyelenggara Pos menerima permintaan dari lembaga yang berwenang dan/atau instansi penegak hukum.

Bagian Kedelapan

Sistem Informasi dan Pelaporan

Pasal 47

Penyelenggara Pos wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Layanan Pos.

Pasal 48

  1. Penyelenggara Pos wajib memelihara database negara berisiko tinggi daftar terduga teroris dan organisasi teroris, dan daftar target financial sanction lainnya yang dipublikasikan oleh Pemerintah atau organisasi internasional.
  2. Penyelenggara Pos wajib melakukan pelaporan terkait adanya kesamaan identitas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dengan identitas Pengguna Layanan Pos sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 49

  1. Penyelenggara Pos wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan, laporan transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme, laporan transaksi keuangan tunai dan/atau transaksi lain kepada lembaga yang berwenang di bidang pelaporan dan analisis transaksi keuangan.
  2. Ketentuan teknis mengenai penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dari lembaga yang berwenang di bidang pelaporan dan analisis transaksi keuangan.

Pasal 50

Ketentuan mengenai penerapan, pengawasan, dan pengenaan sanksi terhadap penerapan Prinsip Mengenal Pengguna Layanan Pos dan mitigasi risiko pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dari lembaga yang berwenang di bidang pelaporan dan analisis transaksi keuangan.

Bagian Kesembilan

Perlindungan Konsumen

Pasal 51

  1. Penyelenggara Pos wajib menjaga keamanan dana pada Wesel Pos, Giro Pos, aktivitas Transfer Dana, dan Tabungan Pos sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Penyelenggara Pos wajib bertanggungjawab atas kerugian Pengguna Layanan Pos yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian dari pengurus, pegawai, dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan Penyelenggara Pos.

Pasal 52

  1. Penyelenggara Pos wajib menjaga kerahasiaan dan keamanan data dan/atau informasi mengenai Pengguna Layanan Pos.
  2. Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 53

  1. Penyelenggara Pos wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen.
  2. Mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dikenakan biaya.
  3. Penyelenggara Pos wajib memiliki unit kerja dan/atau fungsi untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan oleh Pengguna Layanan Pos.
  4. Penyelenggara Pos wajib menindaklanjuti penyelesaian pengaduan paling lambat 20 (dua puluh) Hari setelah tanggal pengaduan.
  5. Dalam hal pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 tidak dapat diselesaikan, Pengguna Layanan Pos dapat mengajukan penyelesaian pengaduan melalui pengadilan dan/atau luar pengadilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  6. Pelaksanaan pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen terhadap Layanan Transaksi Keuangan yang terkait dengan aktivitas pemindahan dana dilaksanakan sesuai peraturan Bank Indonesia.

Pasal 54

Penyelenggara Pos dalam melaksanakan Layanan Transaksi Keuangan wajib memiliki SOP dan dipublikasikan kepada masyarakat.

BAB IV

LAYANAN POS UNIVERSAL

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 55

  1. Pemerintah menjamin terselenggaranya LPU di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga memungkinan masyarakat dapat mengirim dan/atau menerima Kiriman Pos Universal.
  2. Kiriman Pos Universal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri atas:
    a. surat, kartu pos, Barang Cetakan, dan bungkusan kecil sampai dengan 2 (dua) kilogram;
    b. sekogram sampai dengan 7 (tujuh) kilogram;
    c. Barang Cetakan yang dikirim dalam kantong khusus yang ditujukan untuk penerima dengan alamat yang sama dengan berat sampai dengan 30 (tiga puluh) kilogram (M-bag); dan
    d. paket pos dengan berat sampai dengan 20 (dua puluh) kilogram.

Pasal 56

  1. LPU merupakan kewajiban pelayanan publik yang pelaksanaannya dan penganggarannya berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Biaya atas kewajiban pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan subsidi operasional yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
  3. Subsidi operasional sebagaimana dimaksud pada ayat 2 merupakan subsidi operasional penyelenggaraan LPU.
  4. Tata cara penyediaan subsidi operasional penyelenggaraan LPU dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua

Penyelenggaraan Layanan Pos Universal

Paragraf 1

Penetapan Penyelenggara Layanan Pos Universal

Pasal 57

  1. Menteri menugaskan Penyelenggara Pos untuk menyelenggarakan LPU.
  2. Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 58

  1. Penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat 1, berdasarkan pada kriteria:
    a. memiliki pengalaman menyelenggarakan layanan Pos selama 25 (dua puluh lima) tahun;
    b. memiliki dan/atau menguasai jaringan Pos di wilayah penyelenggaraan LPU dan/atau di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
    c. memiliki kemampuan dan sumber daya untuk menyampaikan kiriman Pos ke seluruh dunia;
    d. memiliki sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang penyelenggaraan Pos internasional;
    e. memiliki rencana kerja dan anggaran Penyelenggaraan Pos untuk LPU paling singkat 5 (lima) tahun;
    f. memiliki kemampuan untuk menjaga standar minimum pelayanan LPU; dan
    g. memiliki kemampuan untuk melaksanakan ketentuan akta-akta Perhimpunan Pos Sedunia yang telah disahkan atau diratifikasi oleh Pemerintah.
  2. Direktur Jenderal melakukan penilaian dan evaluasi terhadap Penyelenggara Pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat 1.

Paragraf 2

Kewajiban dan Hak Penyelenggara Layanan Pos Universal

Pasal 59

Penyelenggara Pos yang ditugaskan sebagai Penyelenggara LPU wajib:

  1. menyelenggarakan LPU di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. menjaga keberlangsungan penyelenggaraan LPU;
  3. mematuhi perjanjian kerja dengan itikad baik;
  4. menerapkan tarif atau biaya pengiriman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  5. memenuhi standar minimum pelayanan yang ditetapkan oleh Menteri;
  6. menjalankan penugasan sebagai designated operator dalam kerangka perhimpunan Pos sedunia termasuk menjalankan kewajiban yang melekat didalamnya;
  7. melakukan pengelolaan terhadap prangko;
  8. memenuhi ketentuan perundang-undangan terkait dengan pengiriman barang;
  9. melaporkan penyelenggaraan LPU kepada Menteri;
  10. membuat laporan pendapatan dan biaya penyelenggaraan LPU;
  11. bertanggungjawab secara formil dan materiel terhadap penyelenggaraan LPU;
  12. menyimpan dokumentasi penyelenggaraan LPU paling singkat 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal dokumen diterbitkan untuk dokumen fisik (hard copy);
  13. menyimpan dokumentasi penyelenggaraan LPU melalui arsip data komputer (soft copy); dan
  14. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undanga

Pasal 60

Penyelenggara LPU dalam melaksanakan penugasan LPU memiliki hak:

  1. menerima manfaat yang timbul dari pelaksanaan akta- akta Perhimpunan Pos Sedunia; dan
  2. menerima kompensasi atas biaya penyelenggaraan LPU sesuai dengan ketersediaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan

Bagian Ketiga

Wilayah dan Jumlah Layanan Pos Universal

Pasal 61

  1. Wilayah LPU meliputi:
    a. seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
    b. wilayah layanan Kantor LPU.
  2. Wilayah layanan Kantor LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b merupakan Kantor LPU yang jumlahnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
  3. Kantor LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan berdasarkan kondisi wilayah, dengan mempertimbangkan:
    a. merupakan wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar;
    b. merupakan bagian dari rencana strategis dan rencana kerja Pemerintah; dan/atau
    c. data sebaran Penyelanggara Pos seluruh Indonesia;
  4. Kantor LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan berdasarkan kriteria:
    a. lokasi Kantor LPU berada di luar ibu kota provinsi dan ibu kota kabupaten/kota;
    b. kantor Pos mengalami kerugian keuangan yang didasarkan perhitungan tahun sebelumnya; dan
    c. berada di wilayah yang tidak layak secara usaha yang ditandai dengan tidak ada Penyelenggara Pos lainnya di kecamatan tersebut.
  5. Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat 4 huruf a dikecualikan dalam hal Kantor LPU terletak pada wilayah kabupaten/kota yang tidak layak secara usaha.

Pasal 62

Jumlah Kantor LPU yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat 2 mempertimbangkan jumlah atau ketersediaan dana subsidi LPU.

Bagian Keempat

Metode dan Formula Subsidi Layanan Pos Universal

Paragraf 1

Metode Perhitungan Subsidi Operasional

Penyelenggaraan Layanan Pos Universal

Pasal 63

  1. Subsidi operasional penyelenggaraan LPU merupakan selisih antara biaya operasional dikurangi pendapatan di Kantor LPU.
  2. Subsidi operasional Kantor LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan kepada Kantor LPU yang ditetapkan oleh Menteri.
  3. Formula, metode, tata cara perhitungan kebutuhan dana, dan teknis perhitungan dana subsidi operasional penyelenggaraan LPU ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 64

  1. Pelaksanaan LPU diatur dalam perjanjian kerja LPU antara kuasa pengguna anggaran dengan direktur utama Penyelenggara LPU.
  2. Perjanjian kerja LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditandatangani setelah diterbitkannya Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran LPU yang telah disahkan oleh Kementerian Keuangan.
  3. Perjanjian kerja LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit memuat:
    a. jumlah Kantor LPU;
    b. besaran subsidi LPU;
    c. cara pembayaran subsidi LPU;
    d. hak dan kewajiban;
    e. tolok ukur;
    f. jangka waktu pelaksanaan;
    g. sanksi; dan
    h. penyelesaian perselisihan.

Paragraf 2

Tata Cara Perhitungan Subsidi Operasional Penyelenggaraan

Layanan Pos Universal

Pasal 65

  1. Direktur Jenderal membentuk tim untuk melakukan evaluasi atas usulan kebutuhan dana subsidi operasional Penyelenggaraan LPU.
  2. Tim melakukan evaluasi atas usulan kebutuhan dana subsidi operasional penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1.

Paragraf 3

Tolok Ukur Subsidi

Pasal 66

  1. Perhitungan subsidi operasional Penyelenggaraan LPU untuk Kantor LPU yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) memperhatikan aspek-aspek diantaranya:
    a. aspek operasional;
    b. aspek sarana dan prasarana; dan
    c. aspek keuanga
  2. Aspek operasional sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a meliputi:
    a. penyediaan penjualan Benda Pos yang cukup;
    b. pelayanan 6 (enam) Hari dalam seminggu atau 40 (empat puluh) jam per minggu;
    c. penerimaan, pemrosesan, pengiriman, dan pengantaran:
    1. surat, kartu Pos, Barang Cetakan, dan bungkusan kecil sampai dengan 2 (dua) kilogram;
    2. sekogram sampai dengan 7 (tujuh) kilogram;
    3. Barang Cetakan yang dikirim dalam kantong khusus yang ditujukan untuk penerima dengan alamat yang sama dengan berat sampai dengan 30 (tiga puluh) kilogram (M-bag); dan
    4. paket Pos dengan berat sampai dengan 20 (dua puluh) kilogra
    d. pengiriman ke kantor penghubung/pemeriksa dilakukan 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) kali seminggu;
    e. kerja sama dengan perangkat Pemerintah Daerah setempat, koperasi, dan/atau Badan Usaha Milik Desa secara tertulis untuk penyampaian kiriman di luar batas antar; dan
    f. penyampaian kiriman sesuai dengan standar pelayanan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undanga
  3. Aspek sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b meliputi penyediaan:
    a. sarana, berupa kendaraan minimal kendaraan bermotor roda dua;
    b. prasarana, berupa bangunan kantor Pos yang terawat dan dilengkapi dengan:
    1. ruangan dan kursi tunggu, loket, papan nama kantor, papan pengumuman pelayanan, meja dan lemari sortir (menyatu atau terpisah), meja tulis pelanggan, dan alat pemadam api;
    2. cap tanggal, timbangan surat, dan timbangan paket;
    3. perangkat komputer atau alat tulis kantor;
    4. tempat penyimpanan Benda Pos dan surat berharga lainnya dapat berupa lemari besi, brankas, dan/atau ruang khusus; dan
    5. alat komunikasi yang terhubung secara online sepanjang telah terjangkau jaringan telekomunikas
  4. Aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c untuk subsidi pada setiap Kantor LPU yaitu:
    a. komponen pendapatan yang terdiri atas pendapatan dari:
    1. produk kiriman Pos universal;
    2. produk Layanan Pos Komersial; dan
    3. produk Layanan Transaksi Keuangan
    b. komponen biaya pada Kantor LPU merupakan biaya yang terjadi di Kantor LPU; dan
    c. komponen biaya yang diperhitungkan sebagai beban Kantor LPU ditetapkan dalam Keputusan Menter
  5. Penyelenggara LPU wajib melakukan pemisahan pembukuan atas dana subsidi operasional Penyelenggaraan LPU.

Paragraf 4

Verifikasi Penyelenggaraan Layanan Pos Universal

Pasal 67

  1. Direktur Jenderal dalam melaksanakan perjanjian kerja LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat 1 membentuk tim untuk melakukan:
    a. monitoring atas pelaksanaan LPU; dan
    b. Verifikasi atas pelaksanaan LPU.
  2. Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a merupakan kegiatan pemantauan dan/atau pengujian atas kelayakan aspek-aspek penyelenggaraan LPU.
  3. Monitoring dan Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan berdasarkan SOP yang paling sedikit memuat:
    a. ketentuan umum;
    b. objek yang diverifikasi;
    c. prosedur pelaksanaan Verifikasi;
    d. prosedur pelaksanaan monitoring penyelenggaraan LPU; dan
    e. pemanfaatan sistem informasi.
  4. Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dilaksanakan terhadap Penyelenggaraan LPU tahun berjalan dan usulan Kantor LPU.
  5. Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b berupa Verifikasi Lapangan dan Verifikasi Dokumen.
  6. Tim sebagaimana dimaksud pada ayat 1 melaksanakan Verifikasi atas realisasi subsidi operasional yang bersifat prognosis pada tahun N+1.
  7. Hasil Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b hanya bersifat administratif dan tidak membebaskan Penyelenggara Pos untuk diaudit oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  8. Biaya pelaksanaan monitoring dan Verifikasi dibebankan kepada anggaran Direktorat Jenderal.
  9. SOP sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal.

Pasal 68

  1. Penyelenggara LPU membentuk tim internal untuk melakukan pengelolaan dan pengawasan atas penyelenggaraan dana subsidi sebagai bentuk asersi manajemen.
  2. Hasil laporan tim internal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan kepada Direktur Jenderal sebelum dimulainya pelaksanaan Verifikasi setiap triwulan.

Bagian Kelima

Pencairan Subsidi Layanan Pos Universal

Pasal 69

  1. Kuasa pengguna anggaran penyelenggaraan LPU ditunjuk oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Kuasa pengguna anggaran berwenang untuk menetapkan:
    a. pejabat yang diberi kewenangan untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara;
    b. pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran;
    c. bendahara pengeluaran;
    d. pembantu kuasa pengguna anggaran;
    e. staf pengelola keuangan/pembantu bendahara pengeluaran; dan
    f. unit akuntansi dan pelaporan keuangan kuasa pengguna anggaran.
  3. Kuasa pengguna anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menyelenggarakan akuntansi dan pelaporan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan bendahara umum negara.

Pasal 70

  1. Pencairan dana subsidi operasional penyelenggaraan LPU dilakukan setiap triwulan.
  2. Perhitungan dan pencairan dana subsidi operasional penyelenggaraan LPU pada bulan November dan Desember bersifat prognosis.
  3. Tim Verifikasi melakukan Verifikasi atas realisasi perhitungan subsidi operasional penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 2.
  4. Dalam hal hasil pemeriksaan atau audit lembaga berwenang menyatakan bahwa Pemerintah telah membayar dana subsidi operasional penyelenggaraan LPU lebih besar kepada Penyelenggara LPU, Penyelenggara LPU berkewajiban mengembalikan kelebihan pembayaran dimaksud ke kas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 71

  1. Direktur utama Penyelenggara LPU mengajukan tagihan pembayaran subsidi LPU kepada Kuasa pengguna anggaran.
  2. Berdasarkan tagihan Penyelenggara LPU, Kuasa pengguna anggaran melakukan penelitian terhadap kelengkapan dokumen tagihan penyelenggaraan LPU.

Pasal 72

  1. Berdasarkan tagihan Penyelenggara Pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat 1, pejabat pembuat komitmen membuat surat perintah pembayaran untuk disampaikan kepada pejabat penandatangan surat perintah membayar dengan melampirkan:
    a. berita acara Verifikasi; dan
    b. kuitansi pembayaran.
  2. Berdasarkan surat perintah pembayaran yang diajukan oleh pejabat pembuat komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pejabat penandatangan surat perintah membayar melakukan pengujian sebagai berikut:
    a. pemeriksaan keabsahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran atau dokumen pelaksanaan anggaran lainnya;
    b. pemeriksaan kelengkapan dokumen tagihan pembayaran; dan
    c. mencocokkan tanda tangan pejabat pembuat komitmen dengan spesimen yang diterima.
  3. Berdasarkan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat 2 pejabat penandatangan surat perintah membayar membuat, menandatangani, dan menyampaikan surat perintah membayar ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan dengan melampirkan:
    a. surat pernyataan tanggung jawab belanja dari kuasa pengguna anggaran/pejabat pembuat komitmen;
    b. surat pernyataan telah diverifikasi dari kuasa pengguna anggaran; dan
    c. surat pernyataan tanggung jawab mutlak dari kuasa pengguna anggaran.

Pasal 73

Penyelenggara LPU bertanggung jawab secara formal dan materiel atas pengelolaan dan penggunaan subsidi operasional LPU.

Bagian Keenam

Tarif Layanan Pos Universal

Paragraf 1

Penetapan Tarif Layanan Pos Universal

Pasal 74

  1. Tarif LPU ditetapkan berdasarkan formula yang memperhitungkan:
    a. biaya operasional penyelenggaraan LPU;
    b. proyeksi peningkatan biaya dalam rangka peningkatan kualitas layanan;
    c. proyeksi pertumbuhan produksi;
    d. daya beli masyarakat; dan
    e. ketentuan dalam akta Perhimpunan Pos Sedunia.
  2. Menteri menetapkan tarif LPU terhadap Kiriman Pos Universal.
  3. Penetapan tarif LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 2 berdasarkan hasil verifikasi dan evaluasi oleh Direktur Jenderal.
  4. Direktur Jenderal membentuk tim untuk melakukan verifikasi dan evaluasi atas tarif LPU.
  5. Evaluasi tarif LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
  6. Besaran tarif LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 75

  1. Penyesuaian besaran tarif LPU dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dengan mempertimbangkan faktor internal dan eksternal.
  2. Faktor internal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dalam rangka perbaikan kualitas layanan.
  3. Faktor eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 termasuk namun tidak terbatas pada:
    a. inflasi;
    b. kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM);
    c. kenaikan tarif dasar listrik;
    d. pertumbuhan ekonomi nasional;
    e. kenaikan kurs dollar;dan/atau
    f. perubahan pada ketentuan dalam akta Perhimpunan Pos Sedunia.

Paragraf 2

Pengawasan

Pasal 76

Direktur Jenderal melakukan pengawasan terhadap pemberlakuan tarif LPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh

Standar Pelayanan Minimum

Paragraf 1

Standar Pelayanan

Pasal 77

Standar pelayanan untuk LPU terdiri atas:

  1. ketersediaan akses layanan;
  2. keteraturan layanan;
  3. kompetensi sumber daya manusia;
  4. kecepatan dan keandalan;
  5. keamanan dan kerahasiaan;
  6. penanganan pengaduan, saran, dan masukan;
  7. kepuasan pelanggan;
  8. tarif layanan; dan
  9. ganti rug

Paragraf 2

Ketersediaan Akses Layanan

Pasal 78

  1. Penyelenggara LPU wajib menyediakan LPU yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Setiap Kantor LPU wajib menyediakan:
    a. paling sedikit 1 (satu) loket pengiriman;
    b. memiliki fasilitas tambahan pelayanan berupa paling sedikit: 1. 1 (satu) bis surat; dan/atau 2. kotak Pos sesuai kebutuhan masyarakat.
  3. Penyelenggara LPU dapat memperluas jangkauan layanan LPU melalui pola kemitraan dan/atau Pos bergerak berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
  4. Pos bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat 3 merupakan titik pelayanan pengiriman dan pengantaran kiriman Pos universal dengan ketentuan sebagai berikut:
    a. paling sedikit memiliki 2 (dua) titik pelayanan pada 1 (satu) kecamatan; dan
    b. menggunakan moda transportasi sesuai kebutuhan dan kondisi setempat.
  5. Pola antaran LPU untuk Kantor LPU paling sedikit 1 (satu) unit pelayanan antaran Pos, dengan jangkauan pelayanan sebagai berikut:
    a. untuk Area Dalam Batas Antar (ADBA), kiriman Pos universal diserahkan kepada penerima di titik antar sesuai alamat tujuan kiriman; dan/atau
    b. untuk Area Luar Batas Antar (ALBA), kiriman Pos universal diserahkan kepada penerima yang dilayani pengantaran kiriman Pos universal tidak langsung oleh pengantar dan dapat melalui pihak ketiga.
  6. Informasi Area Dalam Batas Antar (ADBA) dan Area Luar Batas Antar (ALBA) sebagaimana dimaksud pada ayat 5, dibuat dalam daftar yang memuat rincian nama wilayah desa/kelurahan lengkap dengan kode Pos dan dipasang pada papan pengumuman di Kantor LPU untuk diketahui oleh masyarakat.

Pasal 79

Kantor LPU harus memperhatikan fasilitas yang memberikan kemudahan akses bagi masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 80

  1. Penyelenggara LPU wajib menyediakan fasilitas operasi berupa pengolahan kiriman Pos universal yang meliputi pengumpulan, pemrosesan, pengangkutan, dan/atau pengantaran kiriman untuk menjamin efektivitas dan efisiensi proses operasi.
  2. Fasilitas operasi berupa pengolahan kiriman Pos universal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berfungsi sebagai pusat penyortiran, pengonsolidasian, pertukaran, dan/atau penerusan kiriman Pos universal.
  3. Penanganan kiriman Pos universal mempertimbangkan volume kiriman dan ketersediaan moda angkutan setempat.
  4. Dalam melaksanakan fungsi pertukaran Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Penyelenggara LPU wajib menyediakan kantor tukar Pos laut dan kantor tukar Pos udara.

Paragraf 3

Keteraturan Layanan

Pasal 81

Standar keteraturan layanan sebagaimana dimaksud dalam dengan memberikan jaminan operasi pelayanan secara teratur dan berkesinambungan.

Pasal 82

  1. Standar keteraturan pelayanan untuk pelayanan loket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat 2 huruf a wajib dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
    a. jam pelayanan loket Kantor LPU ditetapkan 40 (empat puluh) jam selama 6 (enam) Hari;
    b. jadwal pelayanan loket Kantor LPU ditetapkan sebagai berikut: 1. hari Senin sampai dengan hari Kamis: pukul 08.00- 15.00; 2. hari Jum’at: pukul 08.00 – 11.30 dan 13.00 – 15.00 3. hari Sabtu: pukul 08.00–14.30; dan 4. hari libur dan/atau hari yang diliburkan, tidak ada pelayanan.
    c. jadwal pelayanan loket Kantor LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat dengan tidak mengurangi jumlah jam kerja pelayanan dalam 6 (enam) Hari; dan
    d. jadwal pelayanan loket diumumkan kepada masyarakat dengan mencantumkan jadwal pelayanan loket melalui papan pengumuman di Kantor LPU.
  2. Standar keteraturan pelayanan untuk pelayanan Pos bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat 3 dilaksanakan dengan frekuensi pelayanan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) minggu di setiap lokasi pelayanan.
  3. Standar keteraturan pelayanan untuk fasilitas tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat 2 huruf b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
    a. bis surat melayani pengiriman surat, kartu Pos, dan barang cetakan LPU selama 24 (dua puluh empat) jam dalam 1 (satu) hari, dengan frekuensi pengambilan atau pengosongan kiriman dari bis surat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) hari; dan
    b. kotak Pos melayani pengambilan kiriman Pos universal selama 24 (dua puluh empat) jam dalam 1 (satu) hari.
  4. Standar keteraturan pelayanan untuk pelayanan antaran Pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat 5, dilaksanakan dengan standar pelayanan sebagai berikut:
    a. untuk Area Dalam Batas Antar (ADBA), kiriman Pos universal diantar paling sedikit 1 (satu) kali antaran dalam 1 (satu) hari; dan
    b. untuk Area Luar Batas Antar (ALBA), kiriman Pos universal diantar sesuai dengan jadwal kerja pelayanan Pos bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat 2.
  5. Pendistribusian kiriman Pos universal dari Kantor LPU asal atau pusat pengolahan kiriman Pos ke Kantor LPU tujuan melalui pusat pengolahan kiriman Pos dilaksanakan dengan frekuensi pengangkutan kiriman paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) hari.
  6. Dalam hal terdapat keterbatasan moda angkutan yang dipergunakan, pendistribusian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan dengan frekuensi pengangkutan kiriman paling sedikit 1 (satu) kali dalam beberapa hari.

Paragraf 4

Kompetensi Sumber Daya Manusia

Pasal 83

  1. Dalam menyelenggarakan LPU, Penyelenggara LPU memanfaatkan sumber daya manusia yang handal dan profesional sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang keahlian Pos untuk penanganan LPU.
  2. Pemenuhan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang keahlian Pos untuk penanganan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibuktikan dengan sertifikat keahlian Pos yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).
  3. Pemenuhan sumber daya manusia bersertifikasi keahlian Pos dilaksanakan secara bertahap oleh Penyelenggara LPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
  4. Pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang keahlian Pos untuk penanganan LPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 84

  1. Setiap Kantor LPU dilayani oleh paling sedikit 2 (dua) orang.
  2. Setiap unit pelayanan Pos bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat 3, harus dilayani oleh paling sedikit 1 (satu) orang.
  3. Setiap fasiltas operasi penanganan kiriman dioperasikan oleh sumber daya manusia sesuai kebutuhan dengan memperhatikan beban volume kiriman, jadwal pendistribusian, dan ketersediaan moda angkutan yang dipergunakan.

Paragraf 5

Kecepatan dan Kehandalan

Pasal 85

  1. Standar kecepatan dan kehandalan layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf d wajib dilaksanakan oleh Penyelenggara LPU berupa pemenuhan standar waktu tempuh kiriman Pos universal untuk setiap jenis kiriman Pos universal.
  2. Standar waktu tempuh kiriman Pos universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penerimaan kiriman Pos universal di Kantor LPU asal sampai dengan diterimanya di Kantor LPU tujuan dengan memperhatikan jadwal pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf b.
  3. Standar waktu tempuh kiriman Pos universal sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dinyatakan dalam satuan hari, dirinci setiap jenis LPU dan setiap zona tujuan kiriman Pos universa
  4. Untuk meningkatkan pelayanan prima, Penyelenggara LPU memanfaatkan sistem pelacakan kiriman Pos universal dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undanga
  5. Standar waktu tempuh kiriman Pos universal untuk setiap jenis LPU dan setiap zona tujuan kiriman Pos universal ditetapkan oleh Menteri

Paragraf 6

Keamanan dan Kerahasiaan

Pasal 86

Standar keamanan dan kerahasiaan untuk kiriman LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf e, wajib dipenuhi Penyelenggara LPU dengan menyediakan dan menerapkan sistem pengamanan terhadap:

  1. akses layanan Pos dan fasilitas operasi pengolahan kiriman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat 2;
  2. keutuhan kiriman;
  3. sarana dan prasarana pendeteksi kiriman;
  4. rahasia surat; dan
  5. data pribadi penggun

Paragraf 7

Penanganan Pengaduan, Saran, dan Masukan

Pasal 87

  1. Untuk memenuhi standar penanganan pengaduan, saran, dan masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf f, Penyelenggara LPU wajib menyediakan fungsi pelayanan pelanggan.
  2. Fungsi pelayanan pelanggan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus dilengkapi dengan sarana komunikasi yang memadai dan sesuai kebutuhan, dapat berupa:
    a. pusat layanan pelanggan (call center); dan/atau
    b. layanan lain berupa short message service (SMS), surat elektronik (e-mail), situs web (website), dan/atau media sosial.
  3. Untuk menjamin penanganan pengaduan, saran, dan masukan secara cepat dengan standar, Penyelenggara LPU harus:
    a. merespon pengaduan, saran, dan masukan paling lambat 2 (dua) jam sejak diterimanya pengaduan, saran, dan masukan;
    b. melakukan investigasi paling lambat 1 (satu) x 24 (dua puluh empat) jam sejak diterimanya pengaduan; dan
    c. menyelesaikan penanganan pengaduan, saran, dan masukan paling lambat 3 (tiga) x 24 (dua puluh empat) jam sejak diterimanya pengaduan, saran, dan masukan.
  4. Penyelengara LPU harus merespon pengaduan sesuai dengan sarana komunikasi yang digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat 2.

Paragraf 8

Kepuasan Pelanggan

Pasal 88

  1. Penyelenggara LPU menyampaikan hasil survei pengukuran kepuasan pelanggan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
  2. Survei kepuasan pelanggan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dapat dilakukan secara mandiri dan/atau melalui kerja sama dengan lembaga survei independen yang berkompeten.
  3. Hasil survei kepuasan pelanggan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilaporkan kepada Direktur Jenderal dan dipublikasikan melalui situs web (website) atau media sosial penyelenggara LPU.

Paragraf 9

Standar Tarif

Pasal 89

  1. Standar tarif LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf h mengikuti ketentuan tarif LPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Informasi tentang tarif LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib disampaikan secara terbuka kepada masyarakat melalui media informasi dan komunikasi yang disediakan oleh Penyelenggara LPU, diantaranya melalui:
    a. situs web (website);
    b. media tertulis pada loket pelayanan LPU; dan/atau
    c. media komunikasi dan informasi lainnya.

Paragraf 10

Pelayanan Keadaan Darurat

Pasal 90

  1. Penyelenggara LPU wajib memiliki dan melaksanakan sistem pengamanan khusus untuk penanganan LPU dan aset dalam keadaan darurat.
  2. Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa keadaan yang diakibatkan oleh bencana alam maupun non-alam.
  3. Pengamanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertujuan untuk menjaga keselamatan jiwa, harta benda, dan kontinuitas pelayanan.
  4. Untuk menjamin kontinuitas penyelenggaraan pelayanan LPU dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Penyelenggara LPU wajib menyelenggarakan pelayanan darurat.
  5. Standar pelayanan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat 3 meliputi:
    a. akses layanan menggunakan sarana dan prasarana pelayanan darurat;
    b. jadwal pelayanan dilaksanakan sesuai kondisi darurat;
    c. dapat menggunakan tenaga sumber daya manusia bantuan;
    d. standar waktu tempuh kiriman dilaksanakan mengikuti kondisi darurat;
    e. tetap menjaga keamanan dan kerahasiaan kiriman;
    f. tetap menerima pelayanan pengaduan, saran, dan masukan;
    g. mengumumkan kepada masyarakat tentang pelayanan dalam kondisi darurat; dan
    h. tetap melaksanakan tarif LPU yang ditetapkan Pemerintah.
  6. Penyelenggara LPU wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal apabila Kantor LPU berhenti beroperasi karena keadaan darurat.

Pasal 91

  1. Dalam menjalankan standar pelayanan minimum penyelenggaraan LPU, Penyelenggara LPU wajib menetapkan SOP.
  2. SOP sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mencakup seluruh operasi pelayanan. Paragraf 11 Ganti Rugi

Pasal 92

  1. Penyelenggara LPU wajib memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada Pengguna Layanan Pos akibat keterlambatan, kehilangan, ketidaksesuaian layanan, dan/atau kerusakan kiriman Pos universal yang diakibatkan oleh pelaksanaan layanan LPU.
  2. Kompensasi atau ganti rugi terhadap kehilangan dan/atau kerusakan barang kiriman Pos universal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan sesuai dengan kesepakatan antara Pengguna Layanan Pos dan Penyelenggara LPU sebelum layanan digunakan oleh Pengguna Layanan Pos.
  3. Keterlambatan, kehilangan, ketidaksesuaian layanan, dan/atau kerusakan yang diakibatkan oleh pelaksanaan layanan diberikan ganti rugi paling banyak 10 (sepuluh) kali biaya pengiriman, kecuali kiriman yang diasuransikan.
  4. Kompensasi terhadap keterlambatan, kehilangan, dan/atau kerusakan barang kiriman luar negeri diberikan sesuai ketentuan akta-akta Perhimpunan Pos Sedunia.
  5. Pengguna Layanan Pos mengajukan klaim kepada Penyelenggara LPU sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara LPU disertai dengan bukti yang jelas dan lengkap.
  6. Penyelenggara LPU tidak berkewajiban memberi ganti rugi apabila keterlambatan, kehilangan, dan/atau kerusakan terjadi akibat force majeur dan/atau akibat dari kesalahan atau kelalaian Pengguna Layanan Pos.

Bagian Kedelapan

Pengawasan Pelaksanaan Layanan Pos Universal

Pasal 93

Terhadap penyelenggaraan LPU dilakukan pemeriksaan oleh badan atau instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V

KEWAJIBAN KONTRIBUSI PENYELENGGARAAN

LAYANAN POS UNIVERSAL

Bagian Kesatu

Kontribusi Penyelenggaraan Layanan Pos Universal

Pasal 94

Setiap Penyelenggara Pos wajib membayar Kontribusi Penyelenggaraan LPU.

Pasal 95

  1. Besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU dipungut sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari keuntungan bersih Penyelenggaraan Pos setelah dikurangi pajak untuk seluruh jenis layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Keuntungan bersih Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan seluruh pendapatan yang diperoleh dari layanan Penyelenggaraan Pos setelah dikurangi dengan biaya yang terkait dengan Penyelenggaraan Pos.
  3. Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikenakan juga terhadap subsidi operasional yang diperoleh oleh Penyelenggara Pos yang mendapatkan penugasan sebagai Penyelenggara LPU.

Pasal 96

  1. Penyelenggara Pos wajib melaksanakan pembayaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU setiap tahun, paling lambat tanggal 31 Mei tahun berikutnya.
  2. Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dilakukan per triwulan atau per semester.

Bagian Kedua

Tata Cara Perhitungan Besaran Kontribusi Penyelenggaraan

Layanan Pos Universal

Pasal 97

  1. Penetapan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU oleh Penyelenggara Pos dilaksanakan berdasarkan perhitungan sendiri dengan mengacu pada laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik.
  2. Dalam hal laporan keuangan Penyelenggara Pos tidak diaudit oleh kantor akuntan publik, perhitungan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengacu pada laporan keuangan yang ditandatangani oleh direktur utama atau pejabat perusahaan yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 98

  1. Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat 1 belum selesai diaudit oleh kantor akuntan publik sampai dengan jatuh tempo pembayaran, pembayaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU dihitung berdasarkan laporan keuangan yang belum diaudit.
  2. Dalam hal Kontribusi Penyelenggaraan LPU yang dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 kurang dari besaran yang dihitung berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit, Penyelenggara Pos wajib membayar kekurangan bayar pokok dimaksud dan dikenakan denda keterlambatan pembayaran.
  3. Dalam hal Kontribusi Penyelenggaraan LPU yang dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 lebih besar dari yang seharusnya dibayar berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit, kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran dimuka atas Kontribusi Penyelenggaraan LPU tahun berikutnya.

Pasal 99

  1. Setiap Penyelenggara Pos yang dalam laporan keuangannya terdapat pendapatan yang bukan berasal dari Penyelenggaraan Pos wajib memisahkan seluruh pendapatan dan biaya yang terkait dengan Penyelenggaraan Pos dalam laporan perhitungan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU.
  2. Pemisahan seluruh pendapatan dan biaya yang terkait dengan Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara proporsional dengan merujuk pada komposisi pendapatan dan biaya yang tercantum dalam laporan keuangan.
  3. Besaran pajak yang menjadi pengurang keuntungan bersih sebagai dasar perhitungan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU ditetapkan secara proporsional dengan merujuk pada besaran pajak yang tercantum dalam laporan keuangan.
  4. Perhitungan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 dihitung sesuai dengan cara perhitungan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
  5. Dalam hal Penyelenggara Pos tidak dapat memisahkan seluruh pendapatan dan biaya yang terkait dengan Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1, perhitungan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU dihitung dari seluruh pendapatan dan biaya yang tertuang dalam laporan keuangan.

Bagian Ketiga

Penyetoran Kontribusi Penyelenggaraan Layanan Pos Universal

Pasal 100

Seluruh Penerimaan Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 disetor langsung ke kas negara melalui rekening Bendahara Penerima pada Bank Pemerintah.

Pasal 101

Bendahara Penerima melaporkan seluruh penerimaan Kontribusi Penyelenggaraan LPU setiap bulan kepada Menteri paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika, Inspektur Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Direktur Jenderal.

Bagian Keempat

Tata Cara Penyampaian Dokumen Dan Penetapan Besaran

Kontribusi Penyelenggaraan Layanan Pos Universal

Pasal 102

  1. Dalam pemenuhan kewajiban pembayaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU, Penyelenggara Pos wajib menyampaikan dokumen paling lambat 14 (empat belas) hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat 1 paling sedikit berupa:
    a. laporan keuangan;
    b. bukti transfer pembayaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU;
    c. Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak; dan
    d. dokumen sebagai dasar perhitungan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU.
  2. Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, berupa laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik dalam 1 (satu) periode tahun buku dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember atau sesuai periode pelaporan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak.
  3. Penyelenggara Pos yang laporan keuangannya tidak diaudit oleh kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat 2 wajib melampirkan surat pernyataan tidak dilakukan audit oleh kantor akuntan publik sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
  4. Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan secara elektronik kepada Direktur Jenderal cq. Direktur dengan dilampirkan surat pernyataan kebenaran dokumen sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
  5. Dokumen sebagai dasar perhitungan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d dibuat sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 103

  1. Untuk keperluan penetapan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU, dilakukan Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU terhadap setiap Penyelenggara Pos.
  2. Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh petugas yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
  3. Petugas sebagaimana dimaksud pada ayat 2 terlebih dahulu menandatangani pakta integritas sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Menteri ini.
  4. Dalam pelaksanaan Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU, petugas sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat meminta catatan dan/atau dokumen yang menjadi dasar pencatatan serta dokumen lain yang berhubungan dengan kewajiban pembayaran.
  5. Penyelenggara Pos dapat meminta untuk dilakukan Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU setelah melakukan pembayaran dan menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat 1.
  6. Hasil Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dituangkan dalam berita acara penetapan final.
  7. Dalam hal terdapat ketidaksesuaian besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU berdasarkan Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat 1, petugas yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal membuat materi penjelasan mengenai ketidaksesuaian hasil Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU yang dituangkan dalam berita acara penetapan belum final.

Pasal 104

  1. Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat 1 dilakukan setiap tahun terhadap Penyelenggara Pos yang memiliki pendapatan kotor di atas Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun.
  2. Terhadap Penyelenggara Pos yang memiliki pendapatan kotor kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun, Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali setiap 5 (lima) tahun.

Pasal 105

  1. Dalam rangka penetapan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU, selain melalui Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat 1, Direktur Jenderal dapat meminta Instansi Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan terhadap Penyelenggara Pos.
  2. Penetapan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU dapat dilakukan oleh Instansi Pemeriksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Hasil pemeriksaan dan penetapan yang dilakukan oleh Instansi Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diterbitkan melalui surat pemberitahuan pembayaran yang ditandatangani oleh Direktur.

Pasal 106

  1. Apabila berdasarkan hasil Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU dan/atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat 6 dan penetapan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat 3 terdapat adanya kurang bayar pokok atas kewajiban Kontribusi Penyelenggaraan LPU, Penyelenggara Pos wajib membayar kekurangan bayar pokok dimaksud dan denda keterlambatan pembayaran apabila melebihi jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat 1.
  2. Dalam hal terdapat kurang bayar pokok dan denda keterlambatan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterbitkan surat ketetapan kurang bayar dan surat tagihan.
  3. Apabila berdasarkan hasil Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud dalam bayar pokok atas kewajiban Kontribusi Penyelenggaraan LPU, kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran di muka tahun berikutnya dan diterbitkan surat ketetapan lebih bayar dan surat tagihan.
  4. Apabila berdasarkan hasil Verifikasi Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud dalam lebih bayar dan kurang bayar atas kewajiban Kontribusi Penyelenggaraan LPU, diterbitkan surat ketetapan nihil.

Pasal 107

Pelaksanaan pungutan Kontribusi Penyelenggaraan LPU dilakukan oleh Direktorat Jenderal berdasarkan SOP yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Bagian Kelima

Keberatan

Pasal 108

Penyelenggara Pos dapat mengajukan keberatan terhadap hasil penetapan besaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat 3 paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal penetapan dengan syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 109

  1. Pengenaan denda keterlambatan pembayaran sebagai akibat dari adanya keterlambatan pembayaran atau kurang bayar pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat 2 dan Pasal 106 ayat 1 dihitung sejak tanggal jatuh tempo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat 1.
  2. Besaran denda keterlambatan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yaitu sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah Kontribusi Penyelenggaraan LPU terutang dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh.
  3. Denda keterlambatan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dikenakan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Pasal 110

  1. Direktur menerbitkan surat tagihan pertama yang ditujukan kepada Penyelenggara Pos yang belum membayar kekurangan bayar pokok dan denda keterlambatan berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat 6 dan/atau Pasal 105 ayat 3.
  2. Surat tagihan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterbitkan paling lama 10 (sepuluh) Hari setelah jatuh tempo pembayaran berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat 6 dan/atau Pasal 105 ayat 3.
  3. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal surat tagihan pertama diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 Penyelenggara Pos tidak melunasi kewajibannya, diterbitkan surat tagihan kedua.
  4. Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal surat tagihan kedua diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat
  5. Penyelenggara Pos tidak melunasi kewajibannya, diterbitkan surat tagihan ketiga.
  6. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat tagihan ketiga diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 Penyelenggara Pos tidak melunasi kewajibannya, berlaku ketentuan sebagai berikut:
    a. penyerahan penagihan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
    b. penyerahan penagihan kepada instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud pada huruf a disertai dengan tenggat waktu pelunasan;
    c. dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu masing-masing 7 (tujuh) Hari;
    d. dalam hal sampai dengan jangka waktu teguran ketiga tidak memenuhi kewajiban pelunasan kurang bayar pokok dan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada huruf c dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan berusaha; dan/atau
    e. dalam hal pemenuhan kewajiban kurang bayar pokok dan denda keterlambatan tidak dilunasi sampai dengan 5 (lima) tahun dikenakan sanksi administratif pencabutan Perizinan Berusaha.

Bagian Keenam

Pelaporan

Pasal 111

  1. Seluruh Penyelenggara Pos wajib melaporkan perhitungan sendiri Kontribusi Penyelenggaraan LPU untuk setiap tahun buku paling lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya.
  2. Dalam hal Penyelenggara Pos tidak menyampaikan laporan perhitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sampai dengan tanggal 31 Januari tahun berikutnya, Direktur Jenderal melakukan perhitungan Kontribusi Penyelenggaraan LPU dengan mengacu pada perhitungan Kontribusi Penyelenggaraan LPU tahun sebelumnya atau data lain yang sesuai.
  3. Setelah pelaporan Kontribusi Penyelenggaraan LPU dilakukan baik atas perhitungan sendiri maupun verifikasi, Direktur Jenderal menerbitkan surat pemberitahuan PNBP Terutang.
  4. Wajib Bayar dapat mengajukan perbaikan atas laporan perhitungan sendiri Kontribusi Penyelenggaraan LPU, sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat 1.

Pasal 112

Pelaksanaan pelaporan perhitungan secara sendiri, penagihan, dan pengelolaan Kontribusi Penyelenggaraan LPU dilaksanakan melalui sistem elektronik.

BAB VI

KERJA SAMA POS ASING

Pasal 113

  1. Penyelenggara Pos asing dapat menyelenggarakan Pos di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan syarat:
    a. wajib bekerjasama dengan Penyelenggara Pos dalam negeri melalui usaha patungan; dan
    b. kerja sama Penyelenggara Pos asing dengan Penyelenggara Pos dalam negeri dibatasi wilayah operasinya pada ibukota provinsi.
  2. Penyelenggara Pos asing hanya dapat membuat usaha patungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dengan satu Penyelenggara Pos dalam negeri.
  3. Usaha patungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dilakukan dalam bentuk perseroan terbatas dengan cara mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas.
  4. Tata cara dan mekanisme penanaman modal asing dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang perundangan di bidang penanaman modal.

Pasal 114

  1. Penyelenggara Pos hasil usaha patungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat 1 huruf a tidak dapat melaksanakan pengiriman antarkota di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Pengiriman antarkota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan melalui kerja sama operasi dengan Penyelenggara Pos dalam negeri.
  3. Perjanjian kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 paling sedikit memuat:
    a. peran dan tanggung jawab masing-masing pihak;
    b. pembagian risiko atas keamanan, keselamatan, dan kerahasiaan kiriman pos; dan
    c. pemenuhan standar pelayanan minimum pengiriman.

BAB VII

PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 115

  1. Direktur Jenderal melakukan pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan Penyelenggaraan Pos.
  2. Pengawasan dan Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dalam bentuk monitoring dan evaluasi.
  3. Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dan/atau secara insidentil.
  4. Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dilaporkan kepada Menteri.
  5. Hasil monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat 4 merupakan bahan evaluasi Perizinan Berusaha Penyelenggaraan Pos.
  6. Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat mengikutsertakan pemangku kepentingan di bidang Pos.

Pasal 116

  1. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian terhadap Layanan Transaksi Keuangan yang terkait dengan aktivitas pemindahan dana dilakukan oleh Bank Indonesia.
  2. Menteri melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia terkait dengan hasil pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat 1.
  3. Pengawasan dan pengendalian atas layanan Tabungan Pos dan Giro Pos dilaksanakan bersama dan/atau secara koordinatif dengan lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 117

Direktur Jenderal melaksanakan pencatatan data dan informasi Penyelenggaraan Pos dalam format database berbasis teknologi informasi.

Pasal 118

  1. Evaluasi Penyelenggaraan Pos secara menyeluruh dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun terhadap kepatuhan Penyelenggaraan Pos.
  2. Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sebagai bahan dasar untuk mempertimbangkan keputusan penilaian terhadap kelayakan Penyelenggara Pos dalam menjalankan kegiatan usahanya.

Pasal 119

SOP monitoring dan evaluasi Penyelenggaraan Pos ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 120

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan terhadap Tabungan Pos diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.

BAB VIII

KEWAJIBAN PENYELENGGARAAN DAN SANKSI

ADMINISTRATIF

Bagian Kesatu

Kewajiban Penyelenggaraan Pos

Pasal 121

  1. Penyelenggara Pos wajib memenuhi ketentuan penyelenggaraan sebagai berikut:
    a. memulai operasional Penyelenggaraan Pos paling lambat 6 (enam) bulan sejak diterbitkan Perizinan Berusaha Penyelenggaraan Pos;
    b. menyampaikan laporan Penyelenggaraan Pos yang memuat paling sedikit:
    1. jenis layanan;
    2. jumlah produksi;
    3. tarif layanan;
    4. pencapaian terhadap Standar Pelayanan;
    5. wilayah operasi; dan
    6. jumlah sumber daya manusia.
    c. memenuhi kewajiban pembayaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU;
    d. menyampaikan dokumen setelah memenuhi kewajiban pembayaran Kontribusi Penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat 1;
    e. menyediakan jaringan Pos sesuai Perizinan Berusaha yang diperoleh;
    f. melaporkan kepada Menteri dalam hal melakukan perubahan akta pendirian atau susunan pemegang saham dan/atau besaran kepemilikan saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    g. melaksanakan Layanan Transaksi Keuangan terkait aktivitas Wesel Pos dan Transfer Dana dengan tidak memberikan imbal hasil;
    h. tidak memberikan pinjaman dan/atau kredit pada Layanan Transaksi Keuangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
    i. menginvestasikan dana dari masyarakat pada layanan Giro Pos dan/atau Tabungan Pos dalam bentuk instrumen investasi yang memiliki risiko yang rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    j. membuka akses dan memberikan informasi yang diminta untuk kepentingan monitoring dan evaluasi berupa:
    1. data dan informasi yang termuat dalam laporan Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud pada huruf b; dan/atau
    2. data dan informasi tambahan di luar yang dilaporkan dalam laporan Penyelenggaraan Pos yang paling sedikit memuat:
    a) laporan mengenai ketersediaan jaringan pos akibat bencana; dan/atau
    b) gangguan terhadap pemanfaatan teknologi sistem pelacakan kiriman.
    k. memenuhi ketentuan kerja sama dengan Penyelenggara Pos asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dan Pasal 114; dan/atau
    l. mematuhi ketentuan Penyelenggaraan Pos dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
  2. Laporan Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b disampaikan setiap tahun paling lambat pada tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya dengan periode pelaporan 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
  3. Dalam melakukan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf j, Menteri dapat membentuk sistem monitoring Penyelenggaraan Pos dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
  4. Pelaporan Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b disampaikan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Bagian Kedua

Kewajiban Penyelenggaraan Agen Kurir

Pasal 122

Pelaku Usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha agen kurir wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. memenuhi standar usaha aktivitas agen kurir;
  2. tidak melakukan aktivitas pengumpulan dan pemrosesan kiriman pos yang sifatnya berbahaya;
  3. menyediakan informasi yang valid dan benar kepada konsumen mengenai produk layanan, tarif atau biaya layanan, kepastian waktu layanan, prosedur layanan, SOP layanan, tata cara pengaduan, dan saluran penyampaian saran dan masukan;
  4. memiliki perjanjian kerja sama sebagai agen kurir dengan Penyelenggara Pos;
  5. menjamin perlindungan konsumen; dan
  6. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan bidang pos dan ketentuan peraturan perundang- undangan lainny

Bagian Ketiga

Tujuan Pengenaan Sanksi Administratif

Pasal 123

Pengenaan sanksi administratif bertujuan untuk:

  1. meningkatkan kepatuhan Pelaku Usaha terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. meningkatkan penetrasi infrastruktur serta kualitas layanan Pos; dan
  3. menjamin hak-hak Pengguna Layanan Po

Bagian Keempat

Pelanggaran dan Sanksi Administratif

Pasal 124

  1. Setiap pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha dan/atau ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat 1 dan Pasal 122 dikenakan sanksi administratif.
  2. Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ditemukenali berdasarkan:
    a. hasil monitoring dan/atau evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat 3;
    b. hasil pemeriksaan yang bersumber dari informasi atau laporan pengaduan masyarakat; dan/atau
    c. hasil pengawasan dan temuan langsung di lapangan.
  3. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa:
    a. teguran tertulis;
    b. pengenaan denda administratif;
    c. penghentian sementara kegiatan berusaha;
    d. daya paksa polisional; dan/atau
    e. pencabutan layanan dan/atau Perizinan Berusaha.
  4. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud ayat 3 dikenakan oleh Menteri, Direktur Jenderal, atau Direktur sesuai dengan kewenangan masing-masing.
  5. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf c dan/atau huruf d dilaksanakan berdasarkan surat perintah tugas, terdokumentasi dan dituangkan dalam berita acara.
  6. Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, sanksi administratif tersebut didahului oleh surat perintah untuk menghentikan pelanggaran yang paling sedikit memuat pasal yang dilanggar, ancaman sanksi, batas waktu dan perintah untuk menghentikan kegiatan yang melanggar ketentuan.
  7. Pengenaan sanksi administratif dapat dilakukan secara berjenjang atau berdiri sendiri untuk masing-masing jenis sanksi administratif.
  8. Pengenaan sanksi administratif tidak menghilangkan kewajiban Pelaku Usaha untuk memenuhi kewajiban Perizinan Berusaha dan/atau ketentuan yang dilanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat 1 dan
  9. Menteri melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia dalam pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 3 terhadap Penyelenggara Pos yang menyelenggarakan Layanan Transaksi Keuangan yang terkait dengan aktivitas pemindahan dana.

Pasal 125

  1. Hasil pemeriksaaan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pos yang terindikasi sebagai tindak pidana bidang Pos, diserahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
  2. Penanganan pelanggaran tindak pidana bidang Pos tidak menggugurkan pengenaan sanksi administratif.

Bagian Kelima

Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Teguran Tertulis

Pasal 126

  1. Direktur Jenderal menerbitkan teguran tertulis bagi Pelaku Usaha yang melanggar dan/atau tidak memenuhi kewajiban Perizinan Berusaha paling lambat 10 (sepuluh) Hari sejak ditemukenalinya pelanggaran kewajiban yang dituangkan dalam berita acara dan/atau bukti lainnya.
  2. Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berisi perintah untuk segera mematuhi kewajiban berusaha atau melaksanakan kegiatan berusaha sesuai dengan ketentuan dalam jangka waktu yang ditetapkan serta memuat tahapan selanjutnya dari sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.
  3. Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan paling banyak 3 (tiga) kali untuk jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari.
  4. Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 3 disampaikan melalui:
    a. surat dan/atau daring untuk teguran pertama;
    b. surat dan/atau daring untuk teguran kedua; dan
    c. daring untuk teguran ketiga.
  5. Tahapan pengenaan teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dihentikan prosesnya jika Pelaku Usaha telah memenuhi kewajibannya.

Bagian Keenam

Tata Cara Keberatan

Pasal 127

  1. Keberatan merupakan upaya administratif yang dapat diajukan oleh Pelaku Usaha yang dikenakan sanksi administratif.
  2. Keberatan tidak menunda pengenaan sanksi administratif.
  3. Pelaku Usaha dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal dalam waktu paling lama 21 (dua puluh satu) Hari sejak pertama kali diterbitkannya teguran tertulis sesuai jenis pelanggarannya dengan melampirkan dokumen pendukung.
  4. Pelaku Usaha yang mengajukan keberatan atas keputusan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib menyampaikan surat pernyataan keberatan dan bukti pendukung tidak melakukan pelanggaran.
  5. Direktur Jenderal menyelesaikan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diterimanya keberatan yang dibuktikan dengan tanda terima pengiriman surat.
  6. Dalam hal Direktur Jenderal tidak menyelesaikan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 5, keberatan dianggap dikabulkan.
  7. Direktur Jenderal menetapkan keputusan untuk menerima atau menolak keberatan paling lama 5 (lima) Hari setelah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 5.
  8. Dalam hal keberatan diterima, sanksi administratif yang diberikan terkait dengan pelanggaran kewajiban dimaksud batal demi hukum.
  9. Dalam proses penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 5, Direktur Jenderal berwenang meminta keterangan tambahan kepada Pelaku Usaha yang bersangkutan atau pihak lain yang dianggap perlu.

Bagian Ketujuh

Tata Cara Pengenaan Denda Administratif

Pasal 128

  1. Direktur menerbitkan surat pemberitahuan pembayaran untuk pengenaan sanksi denda administratif yang memuat:
    a. besaran denda yang dikenakan;
    b. jatuh tempo pembayaran;
    c. cara penyetoran; dan
    d. informasi denda keterlambatan pembayaran sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  2. Surat pemberitahuan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterbitkan paling lambat 10 (sepuluh) Hari sejak berakhirnya batas waktu teguran tertulis terakhir dan/atau sejak ditemukenalinya pelanggaran kewajiban yang dituangkan dalam berita acara dan/atau bukti lainnya.
  3. Jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b terhitung 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya surat pemberitahuan pembayaran.
  4. Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari setelah jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 3 Pelaku Usaha belum atau tidak melunasi kewajibannya, maka Direktur menerbitkan surat tagihan pertama.
  5. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal surat tagihan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat 4 diterbitkan, Pelaku Usaha belum atau tidak melunasi kewajibannya, maka Direktur menerbitkan surat tagihan kedua.
  6. Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal surat tagihan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat 5 diterbitkan, Pelaku Usaha belum atau tidak melunasi kewajibannya, maka Direktur menerbitkan surat tagihan ketiga.
  7. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat tagihan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat 6 diterbitkan, Pelaku Usaha belum atau tidak melunasi kewajibannya, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
    a. Pelaku Usaha dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
    b. penyerahan penagihan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang piutang negara.
  8. Keterlambatan atas pembayaran sanksi denda yang melebihi jatuh tempo pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam surat pemberitahuan pembayaran, dikenakan sanksi denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah sanksi denda yang harus dibayarkan, dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh.
  9. Sanksi denda keterlambatan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat 8 dikenakan untuk waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
  10. Pembayaran sanksi administratif berupa denda oleh Pelaku Usaha disetor langsung ke kas negara melalui rekening Bendahara Penerima pada bank Pemerintah yang ditunjuk.

Bagian Kedelapan

Tata Cara Penghentian Sementara Kegiatan Berusaha

Pasal 129

  1. Penghentian sementara kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat 3 huruf c merupakan sanksi administratif untuk menghentikan kegiatan operasional Pelaku Usaha dalam jangka waktu tertentu paling lama 1 (satu) tahun.
  2. Penghentian sementara kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berakhir sampai dengan dipenuhinya kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pelaku Usaha terhadap pelanggaran yang telah dilakukan.
  3. Dalam hal Pelaku Usaha yang dikenakan sanksi administratif penghentian sementara kegiatan berusaha telah memenuhi kewajiban sebelum masa penghentian sementara kegiatan berusaha berakhir, Pelaku Usaha harus melapor kepada Direktur yang memerintahkan penghentian sementara kegiatan berusaha.

Bagian Kesembilan

Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Administratif Dengan Daya

Paksa Polisional

Pasal 130

  1. Daya paksa polisional sebagaimana dimaksud dalam
    a. meminta identitas pelaku pelanggaran dan mendokumentasikan dalam bentuk digital;
    b. memasuki dan memeriksa lokasi kegiatan usaha;
    c. meminta keterangan Pelaku Usaha yang melakukan pelanggaran;
    d. memanggil Pelaku Usaha yang melakukan pelanggaran; dan/atau
    e. penyegelan sementara alat dan/atau perangkat penunjang yang digunakan untuk kegiatan berusaha.
  2. Daya paksa polisional sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan bersamaan dengan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan berusaha.

Bagian Kesepuluh

Tata Cara Pencabutan Layanan dan/atau Perizinan Berusaha

Pasal 131

  1. Direktur Jenderal menerbitkan rekomendasi pencabutan layanan dan/atau Perizinan Berusaha sebagai tahap paling akhir dalam tahapan pengenaan sanksi administratif.
  2. Pencabutan layanan dan/atau Perizinan Berusaha dapat dilakukan secara langsung apabila pelanggaran yang dilakukan Pelaku Usaha membahayakan keamanan negara dan/atau berpotensi merugikan negara.
  3. Pencabutan layanan dan/atau Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak membatalkan kewajiban-kewajiban Pelaku Usaha terhadap piutang negara.

Bagian Kesebelas

Rincian Pengenaan Sanksi Administratif

Pasal 132

Ketentuan mengenai rincian pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, Pasal 126, dan Pasal 128 sampai dengan Pasal 131, tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Bagian Keduabelas

Daftar Hitam

Pasal 133

  1. Direksi, pengurus, perorangan, dan/atau badan hukum Pelaku Usaha dapat ditetapkan dalam Daftar Hitam Penyelenggara dalam hal Pelaku Usaha dikenai sanksi administratif berupa pencabutan layanan dan/atau Perizinan Berusaha.
  2. Direksi, pengurus, perorangan, dan/atau badan hukum Pelaku Usaha yang ditetapkan dalam Daftar Hitam Penyelenggara, dilarang terlibat dalam Penyelenggaraan Pos.
  3. Direksi, pengurus, perorangan, dan/atau badan hukum Pelaku Usaha dapat dikeluarkan dari Daftar Hitam Penyelenggara setelah:
    a. 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkan dalam Daftar Hitam Penyelenggara; dan/atau
    b. kewajiban yang menjadi piutang negara dipenuhi.

Bagian Ketigabelas

Pengenaan Sanksi Administratif Penyelenggaraan LPU

Pasal 134

  1. Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif pada Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 sampai dengan 132 tidak berlaku bagi penyelenggaraan LPU.
  2. Pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan LPU didasarkan pada perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempatbelas

Pengenaan Sanksi pada Kawasan Ekonomi dan Kawasan

Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

Pasal 135

Pemberian sanksi administratif untuk wilayah Kawasan Ekonomi Khusus dan/atau Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dilaksanakan berdasarkan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

BAB IX

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 136

  1. Penyelenggara Pos yang telah menyediakan layanan Giro Pos dan/atau Tabungan Pos sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini tetap dapat melaksanakan kegiatannya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku.
  2. Kewajiban penyesuaian Penyelenggara Pos yang telah menyediakan layanan Giro Pos dan/atau Tabungan Pos dengan Peraturan Menteri ini sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak termasuk ketentuan kewajiban modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 1.

Pasal 137

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

  1. besaran tarif LPU sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 29 Tahun 2013 tentang Tarif Layanan Pos Universal masih tetap berlaku sampai dengan ditetapkannya besaran tarif LPU yang baru;
  2. Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1670 Tahun 2016 tentang Penugasan PT. Pos Indonesia (Persero) sebagai Penyelenggara Pos yang ditunjuk oleh Pemerintah (Designated Operator) masih tetap berlaku sampai dengan adanya penetapan Menteri yang baru; dan
  3. perjanjian kerja LPU yang telah ada dan berlaku, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja dimaksu

BAB X

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 138

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan Penyelenggaraan Pos yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.

Pasal 139

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

  1. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Layanan Pos Universal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 980);
  2. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 29 Tahun 2013 tentang Tarif Layanan Pos Universal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1546);
  3. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 4 Tahun 2017 tentang Mekanisme Kontribusi Layanan Pos Universal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 163); dan
  4. Pasal 5, Pasal 6 ayat 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 23, Pasal 25, dan Pasal 36 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 Tahun 2017 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Izin Penyelenggaraan Pos (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 232),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlak

Pasal 140

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 1 April 2021

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JOHNNY G. PLATE

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 1 April 2021

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 302

Salinan sesuai dengan aslinya

Kementerian Komunikasi dan Informatika


Meta Keterangan
Tipe Dokumen Peraturan Perundang-undangan
Judul Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 4 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pos

In English
Regulation of The Minister of Communications and Informatics of The Republic of Indonesia Number 4 of 2021
T.E.U. Badan/Pengarang Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika
Nomor Peraturan 4
Jenis / Bentuk Peraturan Peraturan Menteri
Singkatan Jenis/Bentuk Peraturan PERMEN
Tempat Penetapan Jakarta
Tanggal-Bulan-Tahun Penetapan/Pengundangan 01-04-2021  /  01-04-2021
Sumber

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku :

  1. PERMENKOMINFO No. 22 Tahun 2013
  2. PERMENKOMINFO No. 29 Tahun 2013
  3. PERMENKOMINFO No. 4 Tahun 2017
  4. Pasal 5, Pasal 6 ayat (5), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 23, Pasal 25, dan Pasal 36 PERMENKOMINFO No. 7 Tahun 2017

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan  1 April 2021

Subjek ¬PENYELENGGARAAN POS
Status Peraturan Berlaku

Keterangan
Repeal :
  1. PERMENKOMINFO No. 22 Tahun 2013
  2. PERMENKOMINFO No. 29 Tahun 2013
  3. PERMENKOMINFO No. 4 Tahun 2017
  4. Pasal 5, Pasal 6 ayat (5), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 23, Pasal 25, dan Pasal 36 PERMENKOMINFO No. 7 Tahun 2017
Bahasa Indonesia
Lokasi BIRO HUKUM
Bidang Hukum Hukum Administrasi Negara
Lampiran

Terjemahan